A. SEJARAH KABUPATEN GOWA
Sebelum Kerajaan Gowa
terbentuk, terdapat 9 (sembilan) Negeri atau Daerah yang masing-masing
dikepalai oleh seorang penguasa yang merupakan Raja Kecil. Negeri ini ialah
Tombolo, Lakiung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan
Sero. Pada suatu waktu Paccallayya bersama Raja-Raja kecil itu masygul karena
tidak mempunyai raja, sehingga mereka mengadakan perundingan dan sepakat
memohon kepada Dewata agar menurunkan seorang wakilnya untuk memerintah Gowa.
Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1320 (Hasil Seminar Mencari Hari Jadi Gowa) dengan diangkatnya Tumanurung
menjadi Raja Gowa maka kedudukan sembilan raja kecil itu mengalami perubahan,
kedaulatan mereka dalam daerahnya masing-masing dan berada di bawah
pemerintahan Tumanurung Bainea selaku Raja Gowa Pertama yang bergelar Karaeng
Sombaya Ri Gowa.
Raja kecil hanya merupakan
Kasuwiyang Salapanga (Sembilan Pengabdi), kemudian lembaga ini berubah menjadi
Bate Salapang (Sembilan Pemegang Bendera).
MASA
KERAJAAN
Pada tahun 1320 Kerajaan Gowa
terwujud atas persetujuan kelompok kaum yang disebut Kasuwiyang-Kasuwiyang dan
merupakan kerajaan kecil yang terdiri dari 9 Kasuwiyang yaitu Kasuwiyang
Tombolo, Lakiyung, Samata, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling,
dan Sero.
Pada masa sebagai kerajaan,
banyak peristiwa penting yang dapat dibanggakan dan mengandung citra nasional
antara lain Masa Pemerintahan I Daeng Matanre Karaeng Imannuntungi Karaeng
Tumapa’risi Kallonna berhasil memperluas Kerajaan Gowa melalui perang
dengan menaklukkan Garassi, Kalling, Parigi, Siang (Pangkaje’ne), Sidenreng,
Lempangang, Mandalle dan lain-lain kerajaan kecil, sehingga Kerajaan Gowa
meliputi hampir seluruh dataran Sulawesi Selatan.
Di masa kepemimpinan Karaeng
Tumapa’risi Kallonna tersebutlah nama Daeng Pamatte selaku Tumailalang yang
merangkap sebagai Syahbandar, telah berhasil menciptakan aksara Makassar yang
terdiri dari 18 huruf yang disebut Lontara Turiolo.
Pada tahun 1051 H atau tahun
1605 M, Dato Ribandang menyebarkan Agama Islam di Kerajaan Gowa dan tepatnya
pada tanggal 9 Jumadil Awal tahun 1051 H atau 20 September 1605 M, Raja I
Mangerangi Daeng Manrabia menyatakan masuk agama Islam dan mendapat gelar
Sultan Alauddin. Ini kemudian diikuti oleh Raja Tallo I Mallingkaang Daeng
Nyonri Karaeng Katangka dengan gelar Sultan Awwalul Islam dan beliaulah yang
mempermaklumkan shalat Jum’at untuk pertama kalinya.
Raja I Mallombasi Daeng
Mattawang Karaeng Bontomangape Muhammad Bakir Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke
XVI dengan gelar Ayam Jantan dari Timur, memproklamirkan Kerajaan Gowa
sebagai kerajaan maritim yang memiliki armada perang yang tangguh dan kerajaan
terkuat di Kawasan Indonesia Timur.
Pada tahun 1653 – 1670,
kebebasan berdagang di laut lepas tetap menjadi garis kebijaksanaan Gowa di
bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin. Hal ini mendapat tantangan dari VOC yang
menimbulkan konflik dan perseteruan yang mencapai puncaknya saat Sultan
Hasanuddin menyerang posisi Belanda di Buton.
Akibat peperangan yang terus
menerus antara Kerajaan Gowa dengan VOC mengakibatkan jatuhnya kerugian dari
kedua belah pihak, oleh Sultan Hasanuddin melalui pertimbangan kearifan dan
kemanusiaan guna menghindari banyaknya kerugian dan pengorbanan rakyat, maka
dengan hati yang berat menerima permintaan damai VOC.
Pada tanggal 18 November 1667
dibuat perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya).
Perjanjian tidak berjalan langgeng karena pada tanggal 9 Maret 1668, pihak
Kerajaan Gowa merasa dirugikan. Raja Gowa kembali dengan heroiknya mengangkat
senjata melawan Belanda yang berakhir dengan jatuhnya Benteng Somba Opu secara
terhormat. Peristiwa ini mengakar erat dalam kenangan setiap patriot Indonesia
yang berjuang gigih membela tanah airnya.
Sultan Hasanuddin
bersumpah tidak sudi bekerja sama dengan Belanda dan pada tanggal 1 Juni
1669 meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke XVI setelah hampir 16 tahun
melawan penjajah. Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 Sultan Hasanuddin
mangkat dalam usia 36 tahun. Berkat perjuangan dan jasa-jasanya terhadap bangsa
dan negara, maka dengan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973
tanggal 16 Nopember 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi penghargaan sebagai
Pahlawan Nasional.
Dalam sejarah berdirinya
Kerajaan Gowa, mulai dari Raja Tumanurung Bainea sampai dengan setelah era Raja
Sultan Hasanuddin telah mengalami 36 kali pergantian Somba (raja) sebagaimana
terlihat pada tabel berikut :
Nama-Nama Raja Kerajaan Gowa dari Tahun 1320 s/d 1957
No.
|
Nama Raja
|
Periode
|
1.
|
Tumanurung Bainea (Putri Ratu)
|
-
|
2.
|
Tamasalangga Baraya
|
1320 - 1345
|
3.
|
I Puang Loe Lembang
|
1345 - 1370
|
4.
|
I Tuniata Banri
|
1370 - 1395
|
5.
|
Karampang Ri Gowa
|
1395 - 1420
|
6.
|
Tunatangka Lopi
|
1420 - 1445
|
7.
|
Batara Gowa Tuniawangngang Ri Paralakkenna
|
1445 - 1460
|
8.
|
IPakereÕ Tau Tunijallo Ri Passukki
|
1460
|
9.
|
Dg. Matanre Krg. Mangngutungi TumapaÕrisi
Kallonna
|
1460 - 1510
|
10.
|
I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung
Tunipallangga Ulaweng.
|
1510 - 1546
|
11.
|
I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng DataÕ
Tunibatta
|
1546 - 1565
|
12.
|
I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng
Bontolangkasa Tunijallo.
|
1565 (40 hari)
|
13.
|
I Tepu Karaeng Daeng Parabbung Karaeng
Bontolangkasa Tunipasulu Tumenanga Ri Butung.
|
1565 - 1590
|
14.
|
I Mangngerangi Daeng Manrabbia Sultan
Alauddin Tumenanga Ri Gaukanna
|
1590 - 1593
|
15.
|
I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiung
Sultan Malikussaid Tumenanga Ri Papan Batuna.
|
1593 - 1639
|
16.
|
I Mallombasi Dg Mattawang Muhammad Basir
Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Ballapangka.
|
1639 - 1653
|
17.
|
I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Lakiung
Sultan Amir Hamzah Tumammalianga Ri Allu.
|
1653 - 1669
|
18.
|
I Mappaossong Daeng Mangewai Karaeng Bisei
Sultan Muhammad Ali Tumenanga Ri Jakattara.
|
1669 - 1674
|
19.
|
I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanro
BoneSultan Abdul Jalil Tumenanga Ri Lakiung.
|
1674 - 1677
|
20.
|
La Pareppa Tu Sappewalia Karaeng AnaÕ
Moncong Sultan Ismail Tumenanga Ri Somba Opu.
|
1677 - 1709
|
21.
|
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan
Sirajuddin Tumenanga Ri Passiringanna.
|
1709 - 1711
|
22.
|
I Manrabia Karaeng Kanjilo Sultan Najamuddin
Tumenanga Ri Jawaya.
|
1712 - 1724
|
23.
|
I MappauÕrangi Karaeng Boddia Sultan Sirajuddin
Tumenenga Ri Passiringanna (Kedua kalinya)
|
1724 - 1729
|
24.
|
I Mallawagau Karaeng Lempangang Sultan Abdul
Khair Al Mansyur Tumenanga Ri Gowa.
|
1729 - 1735
|
25.
|
I Mappababbasa Sultan Abdul Kudus Tumenanga
Ri Bontoparang.
|
1735 - 1742
|
26.
|
Amas Madina ÒBatara Gowa IIÓ Sultan Usman
(diasingkan ke Sailon oleh Belanda)
|
1742 - 1753
|
27.
|
I Mallisu Jawa Daeng Riboko Karaeng
Tompobalang Sultan Maduddin Tumenanga Ri Tompobalang.
|
1753 - 1767
|
28.
|
I Temmasongeng / I Makkaraeng Karaeng
Katangka Sultan Zainuddin Tumenanga Ri Mattoanging.
|
1767 - 1769
|
29.
|
I Mannawarri / I Sumaele Karaeng
Bontolangkasa Karaeng Mangasa Sultan Abdul Hadi Tumenanga Ri Sambungjawa.
|
1769 - 1778
|
30.
|
I Mappatunru / I Manginyarang Krg
Lembangparang Sultan Abdul Rauf Tumenanga Ri Katangka.
|
1778 - 1810
|
31.
|
La Oddangriu Daeng Mangeppe Karaeng Katangka
Sultan Muhammad Zainal Abidin Abd. Rahman Amiril MuÕminin Tumenanga Ri
Suangga
|
1825 - 1826
|
32.
|
I Kumala Daeng Parani Karaeng Lembangparang
Sultan Abdul Kadir Aididin Tumenanga Ri Kakuasanna.
|
1826 - 1893
|
33.
|
I Mallingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka
Sultan Muhammad Idris Tumenanga Ri KalaÕbiranna.
|
1893 - 1895
|
34.
|
I Makkulau Daeng Serang Karaeng
Lembangparang Sultan Muhammad Husain Tumenanga Ri BunduÕna.
|
1895 - 1906
|
35.
|
I Mangngi-mangngi Daeng Mattutu Karaeng
Bontonompo Sultan Muhammad Tahir Muhibuddin Karaeng Ilanga Tumenaga Ri
Sungguminasa.
|
1906 - 1946
|
36.
|
Andi Idjo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang
Sultan Muhammad Abdul Kadir Aiduddin Tumenanga Ri Jongaya.
|
1946 - 1957
|
Masa Kemerdekaan
ada tahun 1950 berdasarkan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950 Daerah Gowa terbentuk sebagai Daerah Swapraja
dari 30 daerah Swapraja lainnya dalam pembentukan 13 Daerah Indonesia Bagian
Timur. Sejarah Pemerintahan Daerah Gowa berkembang sesuai dengan sistem
pemerintahan negara. Setelah Indonesia Timur bubar dan negara berubah menjadi
sistem Pemerintahan Parlemen berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) tahun 1950 dan Undang-undang Darurat Nomor 2 Tahun 1957, maka daerah
Makassar bubar.
Pada tanggal 17 Januari 1957
ditetapkan berdirinya kembali Daerah Gowa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan ditetapkan sebagai daerah Tingkat II . Selanjutnya dengan
berlakunya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah untuk
seluruh wilayah Indonesia tanggal 18 Januari 1957 telah dibentuk Daerah-daerah
Tingkat II.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor
29 tahun 1957 sebagai penjabaran Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 mencabut
Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1957 dan menegaskan Gowa sebagai Daerah
Tingkat II yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Untuk operasionalnya
dikeluarkanlah Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor U.P/7/2/24 tanggal 6
Pebruari 1957 mengangkat Andi Ijo Karaeng Lalolang sebagai Kepala Daerah yang
memimpin 12 (dua belas) Daerah bawahan Distrik yang dibagi dalam 4
(empat) lingkungan kerja pemerintahan yang disebut koordinator masing-masing :
a. Koordinator Gowa Utara, meliputi Distrik Mangasa, Tombolo,
Pattallassang, Borongloe, Manuju dan Borisallo. Koordinatornya berkedudukan di
Sungguminasa.
b. Koordinator Gowa Timur, meliputi Distrik Parigi, Inklusif Malino
Kota dan Tombolopao. Koordinatonya berkedudukan di Malino.
c. Koordinator Gowa Selatan, meliputi Distrik Limbung dan Bontonompo.
Koordinatornya berkedudukan di Limbung.
d.
Koordinator Gowa Tenggara, meliputi Distrik Malakaji,
koordinatornya berkedudukan di Malakaji.
Pada tahun 1960 berdasarkan
kebijaksanaan Pemerintah Pusat di seluruh Wilayah Republik Indonesia diadakan
Reorganisasi Distrik menjadi Kecamatan. untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa
yang terdiri dari 12 Distrik diubah menjadi 8 Kecamatan masing-masing :
a.
Kecamatan Tamalate dari Distrik Mangasa dan Tombolo.
b.
Kecamatan Panakkukang dari Distrik Pattallassang.
c.
Kecamatan Bajeng dari Distrik Limbung.
d.
Kecamatan Pallangga dari Distrik Limbung.
e.
Kecamatan Bontonompo dari Distrik Bontonompo
f.
Kecamatan Tinggimoncong dari Distrik Parigi dan Tombolopao
g.
Kecamatan Tompobulu dari Distrik Malakaji.
h.
Kecamatan Bontomarannu dari Distrik Borongloe, Manuju dan
Borisallo.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1971 tentang perluasan Kotamadya Ujung Pandang
sebagai Ibukota Propinsi, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Gowa
menyerahkan 2 (dua) Kecamatan yang ada di wilayahnya, yaitu Kecamatan
Panakkukang dan sebagian Kecamatan Tamalate dan Desa Barombong Kecamatan
Pallangga (seluruhnya 10 Desa) kepada Pemerintah Kotamadya Ujung Pandang.
Terjadinya penyerahan sebagian
wilayah tersebut, mengakibatkan makna samarnya jejak sejarah Gowa di masa
lampau, terutama yang berkaitan dengan aspek kelautan pada daerah Barombong dan
sekitarnya. Hal ini mengingat, Gowa justru pernah menjadi sebuah Kerajaan
Maritim yang pernah jaya di Indoneia Bagian Timur, bahkan sampai ke Asia
Tenggara.
Dengan dilaksanakannya
Undang-Undang Nomor 51 tahun 1971, maka praktis wilayah Kabupaten Daerah
Tingkat II Gowa mengalami perubahan yang sebelumnya terdiri dari 8 (delapan)
Kecamatan dengan 56 Desa menjadi 7 (tujuh) Kecamatan dengan 46 Desa.
Sebagai akibat dari perubahan
itu pula, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gowa berupaya dan menempuh
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang didukung oleh Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan dengan membentuk 2 (dua) buah Kecamatan yaitu Kecamatan Somba
Opu dan Kecamatan Parangloe.
Guna memperlancar pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan masyarakat Kecamatan Tompobulu, maka berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sulawesi Selatan
No.574/XI/1975 dibentuklah Kecamatan Bungaya hasil pemekaran Kecamatan
Tompobulu. Berdasarkan PP No. 34 Tahun 1984, Kecamatan Bungaya di
defenitifkan sehingga jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa menjadi 9 (sembilan).
Selanjutnya pada tahun 2006,
jumlah kecamatan di Kabupaten Gowa telah menjadi 18 kecamatan akibat adanya
pemekaran di beberapa kecamatan dengan jumlah desa/kelurahan definitif pada
tahun 2006 sebanyak 167 dan 726 dusun/lingkungan.
Dalam sejarah perkembangan
pemerintahan dan pembangunan mulai dari zaman kerajaan sampai dengan era
kemerdekaan dan reformasi, wilayah Pemerintah Kabupaten Gowa telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat. Sebagai daerah agraris yang berbatasan langsung
dengan Kota Makassar Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan menjadikan Kabupaten
Gowa sebagai daerah pengembangan perumahan dan permukiman selain Kota Makassar.
Kondisi ini secara gradual
menjadikan daerah Kabupaten Gowa yang dulunya sebagai daerah agraris sentra
pengembangan pertanian dan tanaman pangan yang sangat potensial, juga menjadi
sentra pelayanan jasa dan perekonomian.
A. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN GOWA
- Dasar lambang warna putih melambangkan tanda suci dengan itikad yang luhur untuk mencapai cita-cita bangsa yaitu masyarakat adil dan makmur yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.
- Bentuk bingkai persegi lima warna hitam adalah melambangkan Pancasila Dasar dan Falsafah Negara Republik Indonesia.
- Buah padi berwarna kuning emas dan buah kapas berwarna putih melingkari bingkai persegi lima, perlambang kemakmuran.
- Bagian depan terdapat tangga berwarna hitam bertuliskan Gowa dengan huruf latin warna putih menghubungkan buah padi dan kapas, perlambang Gowa siap melaksanakan pembangunan yang bertahap.
- Depan benteng nampak terpancang dua buah meriam warna merah, dimukanya bertengger seekor ayam jantan berwarna putih berjengger merah sedang berkokok, perlambang kepahlawanan nasional Sultan Hasanuddin yang berasal dari Gowa.
- Di tengah-tengah berdiri sebatang pohon lontar, berwarna hitam, buah sembilan biji berwarna merah, perlambang kebudayaan Gowa sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
- Latar belakang lambang nampak sinar warna kuning emas dengan pancaran tujuh belas, perlambang Proklamasi 17 Agustus dan daun nyiur melambai, perlambang tanah airku Indonesia.
ARTI WARNA :::
1.
Warna putih berarti kesucian
2.
Warna hitam berarti keabadian
3.
Warna merah berarti kejayaan
4.
Warna kuning berarti keluhuran
5.
Warna hijau berarti kesuburan.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
2. KABUPATEN TAKALAR
A. SEJARAH KABUPATEN TAKALAR
Kabupaten Takalar yang hari jadinya pada tanggal 10 Pebruari 1960,
proses pembentukannya melalui tahapan perjuangan yang panjang. Sebelumnya,
Takalar sebagai Onder afdeling yang tergabung dalam daerah Swatantra MAKASSAR
bersama-sama dengan Onder afdeling Makassar, Gowa, Maros, Pangkajene Kepulauan
dan Jeneponto.
Onder afdeling Takalar, membawahi beberapa district (adat gemen
chap) yaitu: District Polombangkeng, District Galesong, District Topejawa,
District Takalar, District Laikang, District Sanrobone. Setiap District
diperintah oleh seorang Kepala Pemerintahan yang bergelar Karaeng, kecuali
District Topejawa diperintah oleh Kepala Pemerintahan yang bergelar Lo’mo.
Upaya memperjuangkan terbentuknya Kabupaten Takalar, dilakukan
bersama antara Pemerintah, Politisi dan Tokoh-tokoh masyarakat Takalar. Melalui
kesepakatan antara ketiga komponen ini, disepakati 2 (dua) pendekatan/cara yang
ditempuh untuk mencapai cita-cita perjuangan terbentuknya Kabupaten Takalar,
yaitu:
1. Melalui Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) Swatantra Makassar. Perjuangan melalui Legislatif ini, dipercayakan
sepenuhnya kepada 4 (empat) orang anggota DPRD utusan Takalar, masing-masing H.
Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg. Mattola dan Abd. Mannan Dg.
Liwang.
2. Melalui pengiriman delegasi dari unsur
pemerintah bersama tokoh-tokoh masyarakat. Mereka menghadap Gubernur Provinsi
Sulawesi Selatan di Makassar menyampaikan aspirasi, agar harapan terbentuknya
Kabupaten Takalar segera terwujud. Mereka yang menghadap Gubernur Sulawesi
adalah Bapak H. Makkaraeng Dg. Manjarungi, Bostan Dg. Mamajja, H. Mappa Dg.
Temba, H. Achmad Dahlan Dg. Sibali, Nurung Dg. Tombong, Sirajuddin Dg. Bundu
dan beberapa lagi tokoh masyarakat lainnya.
Upaya ini dilakukan tidak hanya sekali jalan. Titik terang sebagai
tanda-tanda keberhasilan dari perjuangan tersebut sudah mulai nampak, namun
belum mencapai hasil yang maksimal yaitu dengan keluarnya Undang-Undang RI
Nomor 2 Tahun 1957 (LN No. 2 Tahun 1957) maka terbentuklah Kabupaten
Jeneponto-Takalar dengan Ibukotanya Jeneponto. Sebagai Bupati Kepala Daerah
yang pertama adalah Bapak H. Mannyingarri Dg. Sarrang dan Bapak Abd. Mannan Dg. Liwang sebagai ketua DPRD.
Para politisi dan tokoh masyarakat tetap berjuang, berupaya dengan
sekuat tenaga, agar Kabupaten Jeneponto-Takalar segera dijadikan menjadi 2
(dua) Kabupaten masing-masing berdiri sendiri yaitu: Kabupaten Jeneponto
dan Kabupaten Takalar.
Perjuangan panjang masyarakat Kabupaten Takalar, berhasil mencapai
puncaknya, setelah keluarnya Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959 (LN Nomor 74
Tahun 1959), tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi Selatan
dimana Kabupaten Takalar termasuk didalamnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 itu, maka sejak
tanggal 10 Pebruari 1960,
TERBENTUKLAH KABUPATEN TAKALAR, dengan Bupati Kepala Daerah (Pertama)
adalah Bapak H. DONGGENG
DG. NGASA seorang
Pamongpraja Senior.
Selanjutnya Peraturan
Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 13 Tahun 1960 menetapkan PATTALLASSANGsebagai IBUKOTA KABUPATEN TAKALAR.
Dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Takalar Nomor 7 Tahun
1990 menetapkan Tanggal 10 Pebruari 1960 sebagai Hari Jadi Kabupaten Takalar.
Berdasarkan struktur pemerintahan pada waktu itu, Bupati Kepala
Daerah, dalam melaksanakan tugas pemerintahan, dibantu oleh 4 (empat) orang
Badan Pemerintahan Harian (BPH), dengan personalianya yaitu:
·
BPH
Tehnik & Keamanan : H. Mappa Dg. Temba
·
BPH
Keuangan
: Bangsawan Dg. Lira
·
BPH
Pemerintahan
: H. Makkaraeng Dg. Manjarungi
·
BPH
Ekonomi
: Bostan Dg. Mamajja
Setelah terbentuknya Kabupaten Takalar, maka Districk
Polombangkeng dijadikan 2 (dua) Kecamatan yaitu Kecamatan Polombangkeng Selatan
dan Polombangkeng Utara, Districk Galesong dijadikan 2 (dua) Kecamatan yaitu
Kecamatan Galesong Selatan dan Kecamatan Galesong Utara, Districk Topejawa,
Districk Takalar, Districk Laikang dan Districk Sanrobone menjadi Kecamatan
TOTALLASA (Singkatan dari Topejawa, Takalar, Laikang dan Sanrobone) yang
selanjutnya berubah menjadi Kecamatan Mangarabombang dan Kecamatan
Mappakasunggu. Perkembangan selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 7
Tahun 2001 terbentuk lagi sebuah Kecamatan yaitu Kecamatan Pattallassang
(Kecamatan Ibukota) dan terakhir dengan Perda Nomor 3 Tahun 2007 tanggal 27
April 2007 dan Perda Nomor 5 Tahun 2007 tanggal 27 April 2007, dua kecamatan
baru terbentuk lagi yaitu Kecamatan Sanrobone (Pemekaran dari Kecamatan
Mappakasunggu) dan Kecamatan Galesong (Pemekaran dari Kecamatan Galesong
Selatan dan Kecamatan Galesong Utara). Sehingga dengan demikian sampai sekarang
Kabupaten Takalar terdiri dari 9 (sembilan) buah Kecamatan, sebagaimana telah
disebutkan terdahulu. Kesembilan kecamatan ini membawahi sejumlah 82
Desa/Kelurahan, dengan jumlah penduduk + 252,275 jiwa.
A.
ARTI DAN MAKNA LAMBANG
KABUPATEN TAKALAR
Lambang daerah Kabupaten Takalar terdiri dari 7 (tujuh) bagian,
yang menggambarkan unsur historis patriotik, sosiologis ekonomis yang
kaseluruhannya merupakan bagian mutlak yang tidak terpisahkan dari kesatuan
negara Republik Indonesia yaitu :
a.
|
Perisai Segi Lima, melukiskan
:
|
|
::
|
Perisai sebagai alat
pembelaan untuk mempertahankan diri dari marabahaya.
|
|
::
|
Perisai sebagai alat
pembelaan untuk mempertahankan diri dari marabahaya.
|
|
b.
|
Mata Rantai, yang terbilang
45 biji, mewujudkan :
|
|
::
|
Ikatan kekeluargaan yang bersendikan
persatuan yang kokoh kuat dan kompak dari massa rakyat Daerah Kabupaten
Takalar.
|
|
::
|
Terbilang empat puluh lima
biji mata rantai melukiskan angka 45, sebagai tahun proklamasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang disambut dengan spontanitas massa rakyat
daerah ini dengan memproklamirkan diri sebagai salah satu bagian dari negara
Republik Indonesia, terlepas dari ikatan apa yang dinamakan “Negara Indonesia
Timur”.
|
|
c.
|
Lipan :
|
|
::
|
Dua ekor lipan merupakan
lambang dari pada kepahlawanan dan semangat patriotik massa Rakyat Kabupaten
Takalar, sebagai alat revolusi yang terkenal dengan nama “Lipan Bajeng” yang
bersemboyang : Pantang Mundur Menggigit Apabila Diganggu.
|
|
::
|
Lipan yang menggambarkan
beruas 20 (dua puluh) mewujudkan himpunan dari dua puluh kelaskaran yang
tergabung dalam satu wadah perjuangan bernama “LAPRIS (Laskar Pemberontak
Rakyat Sulawesi Selatan) berpusat di Polombangkeng / Kabupaten Takalar pada
masa revolusi fisik.
|
|
d.
|
Pohon-Pohonan dan Petak-Petak
Sawah :
|
|
::
|
Pohon-pohon dan petak-petak
sawah, merupakan perwujudan dari pada lambang kemakmuran dan kesuburan tanah
Kabupaten Takalar yang menjamin kebahagiaan tata kehidupan masyarakat.
|
|
::
|
Tujuh batang pohon
menggambarkan pengertian historis dari pada pembentukan Kabupaten Takalar,
yang bersumber dari tujuh ex swapraja, yaitu Polombangkeng, Galesong,
Sanrobone, Takalar, gabungan Laikang Topejawa dan Pulau-Pulau Tanakeke.
|
|
::
|
Delapan petak sawah,
melukiskan angka 8 sebagai bulan diproklamirkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
|
e.
|
Gelombang Lautan yang dilukiskan bergelombang tiga,
menandaskan bahwa masyarakat Takalar, sebagai alat revolusi tidak mengenal
statis dalam perjuangan bahkan senantiasa mengikuti sifatnya lautan yang
tidak pernah diam dan senantiasa bergelora, sebagaimana peribahasa makassar
yang berjudul : “Bombang Tallua Gallurutamattentaya” yang menjiwai kegiatan
dan tata kehidupan masyarakat.
|
f.
|
Semboyan yang dituliskan dengan aksara lontara yang
berbunyi “PANRANNUANGKU” berarti harapanku atau amanahku merupakan sugesti
bagi Pemerintah Daerah dan segenap aparaturnya untuk senantiasa berbuat dan
bertindak sesuai dengan amanat penderitaan rakyat.
|
g.
|
Nama kabupaten “TAKALAR”
|
PENJELASAN UMUM :
1. Unsur-unsur historis yang terkandung dalam lambang Daerah Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut :
1. Unsur-unsur historis yang terkandung dalam lambang Daerah Kabupaten Takalar adalah sebagai berikut :
a.
|
Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan dengan :
|
|
1.1.
|
7 batang pohon + 3 gelombang
laut + 7 huruf nama daerah = tanggal 17
|
|
1.2.
|
8 petak sawah = bulan 8
|
|
1.3.
|
45 biji mata rantai = tahun
45
|
b.
|
Pembentukan Daerah Tingkat II
Takalar pada tanggal : 10 Pebruari 1960 dinyatakan dengan :
|
|
1.1.
|
7 batang pohon + 3 gelombang
laut = tanggal 10
|
|
1.2.
|
2 ekor lipang = bulan 2
|
|
1.3.
|
45 biji mata rantai + 8 petak
sawah + 7 huruf nama daerah = tahun 60
|
a.
|
Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dinyatakan dengan :
|
|
1.1.
|
7 batang pohon + 3 gelombang
laut + 7 huruf nama daerah = tanggal 17
|
|
1.2.
|
8 petak sawah = bulan 8
|
|
1.3.
|
45 biji mata rantai = tahun
45
|
2. Komposisi warna yang menjiwai lambang daerah Kabupaten Takalar,
diartikan sebagai berikut :
a.
|
Hijau = kerukunan, kesuburan dan kemakmuran
|
|
b.
|
Putih = kesucian dan keikhlasan jiwa raga
masyarakatnya
|
|
c.
|
Merah = keberanian dan kepahlawanan masyarakatnya
|
|
d.
|
Kuning = kesetiaan dan keluhuran pengabdian
masyarakat
|
|
e.
|
Coklat = ciri khas dari pemerintah dan rakyat
kabupaten takalar yaitu pimpinan yang beribawa / bijaksana dan rakyat yang
patuh / taat
|
|
f.
|
Biru = tabah dalam penderitaan ; tabah dalam
arena perjuangan ; ulet dalam mengatasi kesulitan.
|
3. KABUPATEN
JENEPONTO
A. SEJARAH
KABUPATEN JENEPONTO
Penetapan Hari Jadi Jeneponto sebagai salah satu Kabupaten di
Provinsi Sulawesi Selatan merupakan waktu yang cukup panjang dan melibatkan
banyak tokoh di daerah ini. Kajian dan berbagai peristiwa penting melahirkan
beberapa versi mengenai waktu yang paling tepat untuk dijadikan sebagai Hari
Jadi Jeneponto.
Kelahiran
adalah suatu proses yang panjang, yang merupakan momentum awal dan tercatatnya
sebuah sejarah Bangsa, Negara, dan Daerah. Oleh karena itu, kelahiran tersebut
memiliki makna yang sangat dalam bagi peradaban manusia.
Jeneponto
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan, yang terletak di
bagian selatan, tumbuh dengan budaya dan peradaban tersendiri seiring dengan
perubahan dan perkembangan zaman. Menyadari perlunya kepastian akan Hari Jadi
Jeneponto, maka dilakukan beberapa upaya dengan melibatkan berbagai elemen di
daerah ini melalui seminar –seminar yang dilaksanakan secara terpadu.
Dari
pemikiran yang berkembang dalam pelaksanaan seminar tersebut, diharapkan bahwa
kriteria yang paling tepat untuk menetapkan Hari Jadi Jeneponto adalah
berdasarkan pertimbangan historia, sosio-kultural, dan struktur pemerintahan,
baik pada masa pra dan pasca kemerdekaan Republik Indonesia, maupun
pertimbangan eksistensi dan norma-norma serta simbol-simbol adat istiadat yang
dipegang teguh, dan dilestarikan oleh masyarakat dalam meneruskan pembangunan.
Selanjutnya,
penelusuran tersebut menggunakan dua pendekatan yaitu tanggal, bulan, dan tahun
menurut teks dan tanggal kejadiannya, serta pendekatan dengan mengambil
tanggal-tanggal, bulan-bulan maupun tahun-tahun yang mempunyai makna-makna
penting yang bertalian dengan lahirnya suatu daerah, yang dianggap merupakan
puncak kulminasi peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.
Adapun
alternatif yang digunakan terhadap kedua pendekatan tersebut di atas yaitu:
Pertama:
a. November 1863, adalah tahun
berpisahnya antara Bangkala dan Binamu dengan Laikang. Ini membuktikan jiwa
patriotisme Turatea melakukan perlawanan yang sangat gigih terhadap pemerintah
Kolonial Belanda.
b. Tanggal 29 Mei 1929 adalah
pengangkatan Raja Binamu. Tahun itu mulai diangkat “Todo” sebagai lembaga adat
yang refresentatif mewakili masyarakat.
c. Tanggal 1 Mei 1959, adalah
berdasarkan Undang-undang No. 29 Tahun 1959 menetapkan terbentuknya Daerah
Tingkat II di Sulawesi Selatan, dan terpisahnya Takalar dari Jeneponto.
Kedua:
a. Tanggal 1 Mei 1863, adalah
bulan dimana Jeneponto menjalani masa-masa yang sangat penting yaitu
dilantiknya Karaeng Binamu, yang diangkat secara demokratis oleh “Toddo Appaka”
sebagai lembaga representatif masyarakat Turatea.
b.
Mundurnya Karaeng Binamu dari
tahta sebagi wujud perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda.
c.
Lahirnya Undang Undang No. 29
Tahun 1959.
d. Diangkatnya kembali raja Binamu
setelah berhasil melawan penjajah Belanda. Kemudian tahun 1863, adalah tahun
yang bersejarah yaitu lahirnya Afdeling Negeri-negeri Turatea setelah
diturunkan oleh pemerintah Belanda dan keluarnya Laikang sebagai konfederasi
Binamu.
e. Tanggal 20 Mei 1946, adalah simbol patriotisme Raja Binamu
(Mattewakkang Dg Raja) yang meletakkan jabatan sebagai raja yang melakukan
perlawanan terhadap pemerintah Belanda.
Dengan
Demikian penetapan Hari Jadi Jeneponto yang disepakati oleh pakar pemerhati
sejarah, peneliti, sesepuh dan tokoh masyarakat Jeneponto, dari seminar Hari
jadi Jeneponto yang berlangsung pada hari Rabu, tanggal 21 Agustus 2002 di
Gedung Sipitangarri, dianggap sangat tepat, dan merupakan keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan berbagai
kesimpulan di atas, maka Hari jadi Jeneponto ditetapkan pada tanggal 1 Mei
1863, dan dikukuhkan dalam peraturan Daerah Kabupaten Jeneponto Nomor 1 Tahun
2003 tanggal 25 April
B.
ARTI DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN JENEPONTO
Lambang
daerah Kabupaten Jeneponto yang menggambarkan unsur-unsur historis, kultur,
patriotik, sosialogis, dan ekonomi yang keseluruhanya merupakan bagian mutlak
yang tidak terpisahkan dari NKRI.
Terdiri atas lima bagian yang berbeda, yakni pohon lontar dan batang aksara berbentuk (T), kuda putih, globe tiga warna bersusun, daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto dan model perisai.
Terdiri atas lima bagian yang berbeda, yakni pohon lontar dan batang aksara berbentuk (T), kuda putih, globe tiga warna bersusun, daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto dan model perisai.
Maknanya, pohon lontar dan batang aksara berbentuk
(T) adalah, pohon serba guna lambang kemakmuran. Batang sebagai bahan
rumah, buahnya dimakan, airnya dapat dijadikan gula, daunya dibuat menjadi
tikar dan lain-lain.
Batangnya yang berbentuk huruf (aksara T) singkatan dari kata Turatea di mana rakyat Kabupaten Jeneponto lebih dikenal sebutan Turatea yang artinya orang dari atas. Huruf (T) ini terletak di atas pondasi yang kuat, yang warnanya hitam diartikan sebagai sesuatu yang kuat dan kukuh.
Kuda putih, lambang kekuatan intelek, kuat, gagah, berani dalam keyakinan yang suci. Binatang serba guna ini erat hubungannya dengan segala segi dan perjuangan hidup manusia dan masyarakat baik dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dengan semangat menyala adalah kekuatan dan bersukma turun temurun dengan tanaga kuda yang bersemangat tinggi. Mari membangun umat manusia.
Globe dengan tiga warna bersusun. Dengan tiga rangkain rantai (gelang) yang dipadu jadi satu. Globe berarti cita-cita yang tinggi bukan saja seluas samudra dahsyat atau setinggi Bawakaraeng, tetapi seperkasa bumi sebulat bola dunia, warnanya merah, hijau, kuning, melukiskan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin.
Warna merah, atau kelahiran bahwa manusia itu dilahirkan dan menjadi anggota masyarakat. Sedangkan hijau pucuk harapan, bahwa manusia setelah dilahirkan menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan agar menjadikan manusia sosial yang cakap dan bertanggung jawab.
Sementara kuning (matang).
Bahwa, manusia setelah lahir dan berpendidikan, perubahan ia dapat diandalkan sebagai anggota masyarakat yang sempurna. Dari ketiga pengertian warna lambang daerah Jeneponto, Ini menjadi cita-cita dan kewajiban pemerintah daerah Jeneponto.
Daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto, menggambarkan kebudayaan yang khas dan tinggi nilainya sejak dahulu kala. Sementara model perisai diartikan, sebagai pelindung dan pengaman atas terwujudnya pancasila di mana Kabupaten Jeneponto adalah bagian dari NKRI. Itulah makna yang terkandung dalam logo karya Mustafa Djalle
Batangnya yang berbentuk huruf (aksara T) singkatan dari kata Turatea di mana rakyat Kabupaten Jeneponto lebih dikenal sebutan Turatea yang artinya orang dari atas. Huruf (T) ini terletak di atas pondasi yang kuat, yang warnanya hitam diartikan sebagai sesuatu yang kuat dan kukuh.
Kuda putih, lambang kekuatan intelek, kuat, gagah, berani dalam keyakinan yang suci. Binatang serba guna ini erat hubungannya dengan segala segi dan perjuangan hidup manusia dan masyarakat baik dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dengan semangat menyala adalah kekuatan dan bersukma turun temurun dengan tanaga kuda yang bersemangat tinggi. Mari membangun umat manusia.
Globe dengan tiga warna bersusun. Dengan tiga rangkain rantai (gelang) yang dipadu jadi satu. Globe berarti cita-cita yang tinggi bukan saja seluas samudra dahsyat atau setinggi Bawakaraeng, tetapi seperkasa bumi sebulat bola dunia, warnanya merah, hijau, kuning, melukiskan kewajiban yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin.
Warna merah, atau kelahiran bahwa manusia itu dilahirkan dan menjadi anggota masyarakat. Sedangkan hijau pucuk harapan, bahwa manusia setelah dilahirkan menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan pendidikan agar menjadikan manusia sosial yang cakap dan bertanggung jawab.
Sementara kuning (matang).
Bahwa, manusia setelah lahir dan berpendidikan, perubahan ia dapat diandalkan sebagai anggota masyarakat yang sempurna. Dari ketiga pengertian warna lambang daerah Jeneponto, Ini menjadi cita-cita dan kewajiban pemerintah daerah Jeneponto.
Daun lontar model pita yang bertuliskan Jeneponto, menggambarkan kebudayaan yang khas dan tinggi nilainya sejak dahulu kala. Sementara model perisai diartikan, sebagai pelindung dan pengaman atas terwujudnya pancasila di mana Kabupaten Jeneponto adalah bagian dari NKRI. Itulah makna yang terkandung dalam logo karya Mustafa Djalle
4. KABUPATEN
BULUKUMBA
A. SEJARAH
KABUPATEN BULUKUMBA
Mitologi
penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa
Bugis yaitu "Bulu’ku" dan
"Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik
saya atau tetap gunung milik saya".
Mitos
ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara
dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di
pesisir pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja
Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas
wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng
Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit
dari Gunung Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah
kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak
Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki' sebagai wilayah
kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal
dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis
"Bulu'kumupa" yang kemudian pada tingkatan dialek tertentu mengalami
perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba".
Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten.
Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah kabupaten.
Peresmian
Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang
Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi
yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun
1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya
setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad
Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten
Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 1994.
Secara
yuridis formal Kabupaten Bulukumba
resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten
Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan
selanjutnya dilakukan pelantikan Bupati pertama, yaitu Andi Patarai
pada tanggal 12 Februari 1960.
B.
ARTI DAN MAKNA LAMBANG
KABUPATEN BULUKUMBA
- Perisai Persegi Lima. Melambangkan sikap batin masyarakat Bulukumba yang teguh mempertahankan pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
- Padi dan Jagung. Melambangkan mata pencaharian utama dan merupakan makanan pokok masyarakat Bulukumba. Bulir Padi sejumlah 17 bulir melambangkan tanggal 17 sebagai tanggal kemerdekaan RI. Daun Jagung sejumlah 8 menandakan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan RI. Kelopak buah jagung berjumlah 4 dan bunga buah jagung berjumlah 5 menandakan tahun 1945 sebagai tahun kemerdekaan RI.
- Perahu Phinisi. Sebagai salah satu mahakarya ciri khas masyarakat Bulukumba, yang dikenal sebagai "Butta Panrita Lopi" atau daerah bermukimnya orang yang ahli dalam membuat perahu.
- Layar perahu phinisi berjumlah 7 buah. Melambangkan jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba. (Saat logo tersebut dibuat, Kabupaten Bulukumba memang hanya terbagi atas tujuh, tetapi sekarang sudah dimekarkan menjadi 10 kecamatan. Ke depan, bukan tidak mungkin Bulukumba masih akan dimekarkan dengan beberapa kecamatan, atau bahkan bisa jadi dimekarkan menjadi dua atau beberapa kabupaten).
- Tulisan aksara lontara di sisi perahu "Mali Siparappe, Tallang Sipahua". Mencerminkan perpaduan dari dua dialeg bugis makassar yang melambangkan persatuan dan kesatuan dua suku besar yang ada di Kabupaten Bulukumba.
- Warna Dasar Biru. Mencerminkan bahwa Kabupaten Bulukumba merupakan daerah maritim.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
No comments:
Post a Comment