1.
KOTA PALOPO
A. SEJARAH
KOTA PALOPO
Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratip (Kotip) Palopo,
merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986
Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi
bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah
membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah
memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah
daerah otonom.
Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom ,
bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala
itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip
Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat
seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul
Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten
Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan
Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur
Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul
Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi
Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan
Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo
Menjadi Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi
Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula di
barengi oleh Aksi Bersama LSM Kabupaten Luwu memperjuangkan Kotip Palopo
menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.
Akhirnya setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau
kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak
geografis Kotip Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat
pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar, meliputi
Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung
sebagai pusat pengembangan pendidikan di kawasan utara Sulawesi Selatan, dengan
kelengkapan sarana pendidikan yang tinggi, sarana telekomunikasi dan sarana
transportasi pelabuhan laut, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya
menjadi Daerah Otonom Kota Palopo .
Tanggal 2 Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah
perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan di tanda tanganinya prasasti
pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia , berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang
Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsii Sulawesi
Selatan , yang akhirnya menjadi sebuah Daerah Otonom, dengan bentuk dan model
pemerintahan serta letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya
yakni Kabupaten Luwu.
Diawal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya
memiliki 4 Wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun
seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga
untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat , maka
pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9
Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H.P.A. Tenriadjeng,
Msi, yang di beri amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu,
mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun , hingga
kemudian dipilih sebagai Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kota Palopo, untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus
mencatatkan dirinya selaku Walikota pertama di Kota Palopo.
B. ARTI DAN MAKNA LAMBANG KOTA PALOPO
Makna
Gambar
1.
Bintang Lima, melambangkan Ketuhana Yang Maha Esa
2.
Payung Berwarna
Merah, adalah Pajung Pero'E atau Pajung MaejaE sebagai salah satu atribut lambing kekusaan politik Pajung Luwu
atau Raja Luwu, yang melambangkan kekusaan Politik Pajung Luwu atau Raja Luwu.
3.
Bessi PakkaE atau
Sulengkah Kati, merupakan lambang kekusaan
politik Pajung Luwu atau Raja Luwu, yang melambangkan kesejajaran atau
kesetaraan hak dari seluruh lapisan masyarakat Kota Palopo. Bessi PakkaE ini
juga adalah inspirator Pajung / Raja dalam menjalankan pemerintahannya secara
adil, jujur, benar dan teguh dalam pendirian (“adele',
lempu', tongeng dan getting”).
4.
Masjid Jami', adlah symbol
perubahan (transformasi), rekonsiliasi sosial dan sekaligus lembang inofasi
atau pembaruan konstitusi dan organisasi pemerintahan kerajaan luwu.
5.
Sayap burung langkah kuajang
yang terbentang, adalah symbol semangat dan kesiapan seluruh komponen
masyarakat dan pemerintah untuk membangun kota Palopo.
6.
Padi dan kapas, adalah symbol
kesejahteraan.
7.
Roda adalah symbol pembagunan
kota Palopo yang dinamis.
8.
Tulisan huruf lontara “ware” ,
adalah symbol pusat pemerintahan kerajaan luwu.
Makna
Sandi
1.
Pajung maejae
o 21 rumbai pada 1 (satu) payung menggambarkan tanggal dan bulan
jadi tanah luwu (21 januari ).
o Pernik diatas payung terdiri dari, bagian atas 1 (satu) buah ,
tengah 2 (dua) buah, bawah 6( enam) buah, dan 8 (delapan) buah payung
menggambarkan tahun kelahiran tanha luwu (1268).
2.
Bessi PakkaE
o 3 (tiga) buahgaris hitam pada bessi pakkaE melambangkan wilayah 3
(tiga) kerajaan “palili” (anak telluE): baebunta, bua, dan ponrang.
o 12 ( dua belas) ruas pada tiang / kayu bessi pakkaE adalah
gambaran 12 (dua belas) anak suku tanah luwu.
3.
Sayap burung
o Jumlah bulu pada sayap terdiri atas 21 (dua puluh satu) helai yang
melambangkan tanggal jadi kota Palopo ( tanggal 21).
o 2 (dua) buah sayap, kiri dan kanan adalah gambaran tahun jadi kota
Palopo ( tahun 2002).
4.
Jumlah jendela pada mesjid
jami' sebanyak 6 (enam) buah melambangkan bulan jadi kota Palopo (bulan juni).
5.
Padi dan Kapas masing-masing
berjumlah 11 (sebelas) melambangkan undang-undang nomor 11 tahun 2002 tentang
pembentukan kabupaten Mamasa dan kota Palopo di propinsi Sulawesi Selatan.
6.
Roda dengan 7 (tujuh) gerigi
melambangkan 7 (tujuh) strategi utama yang menjadi arah kebijakan pembangunan
kota Palopo, yakni menjadikan kota Palopo sebagai kota Tujuh Dimensi ( Kota
Religi, pendidikan, olahraga, adat / budaya, dagang, industri dan pariwisata).
7.
Perisai berisi 5 ( lima ),
dimaksudkan sebagai suatu Negara kesatuan yang berasaskan pancasila.
Makna Warna
·
Hijau
warna asli luwu yang
menggambarkan kesuburan sekaligus dapat mencerminkan keindahan, kenyamanan dan
kedamaian kota Palopo ( idaman).
·
Kuning
Warna yang mencerminkan
kemuliaan, keagungan dan keberhasilan.
·
Merah
Warna tertinggi di luwu yang
dapat menggambarkan ketegasan dan kerelaan berkorban.
·
Putih
Warna kesucian, keikhlasan dan
perdamaian.
·
Hitam
Warna yang mencerminkan
kekuatan
Sumber : http://www.depdagri.go.id
2.
KABUPATEN LUWU TIMUR
A. SEJARAH
LUWU TIMUR
Kerinduan
masyarakat di wilayah eks Onder-afdeling Malili atau bekas Kewedanaan Malili,
untuk membentuk suatu daerah otonom sendiri telah terwujud. Kabupaten Luwu
Timur yang terbentang dari Kecamatan Burau di sebelah barat hingga Kecamatan
Towuti di sebelah timur, membujur dari Kecamatan Mangkutan di sebelah utara
hingga Kecamatan Malili di sebelah selatan, diresmikan berdiri pada tanggal 3
Mei 2003.
Dalam perjalanan panjang pembentukan kabupaten ini, terangkai suka
dan duka bagi para penggagas dan penginisiatif yang akan menjadi kenangan yang
tak akan terlupakan sepanjang masa. Semuanya telah menjadi hikmah yang dapat
dipetik pelajaran dan manfaat tak ternilai guna kepentingan membangun daerah
ini di masa depan. Secara kronologis, sekilas perjalanan panjang itu, dapat
dilukiskan sebagai berikut:
I. Kisaran Tahun 1959
Pada Bulan Januari Tahun 1959, situasi ketentraman dan keamanan
pada hampir seluruh kawasan ini, sangat mencekam dan memprihatinkan akibat aksi
para gerombolan pemberontak yang membumihanguskan banyak tempat, termasuk kota
Malili. Peristiwa ini, secara langsung melahirkan semangat heroisme yang
membara, khususnya di kalangan para pemuda pada` waktu itu, untuk berjuang
keras dengan tujuan membangun kembali wilayah eks Kewedanaan Malili yang porak
poranda. Gagasan pembentukan kabupaten pun merebak dan diperjuangkan secara
bersungguh-sungguh. Sebagai dasar utamanya, secara sangat jelas termaktub dalam
Undang-undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di
Sulawesi Selatan (L.N. 1959 Nomor 74 TLN Nomor 1822) yang mengamanatkan bahwa
semua Daerah Eks Onder-Afdeling di Sulawesi Selatan, termasuk di antaranya
bekas Kewedanaan Malili akan ditingkatkan statusnya menjadi Kabupaten. Namun
pada realitas, ternyata terdapat 3 Daerah Ex Onder Afdeling yakni Malili,
Masamba dan Mamasa belum dapat diwujudkan pembentukannya, terutama disebabkan
karena alasan situasi keamanan yang belum memungkinkan pada waktu itu.
II. Kisaran Tahun 1963
Harapan kembali berkembang, ketika dikeluarkan Resolusi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD –GR) Daerah tingkat II Luwu di
Palopo, Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963 tanggal 2 Mei 1963, yang menyetujui Ex Onder
Afdeling Malili menjadi Kabupaten. Kemudian, sebagai perkembangannya,
dikeluarkanlah Resolusi Nomor 9/Res/DPRD-GR/1963 yang memutuskan untuk meninjau
kembali Resolusi Nomor 7/Res/DPRD-GR/1963 tersebut, sehingga terdapat
konsiderans yang berbunyi sebagai berikut: “……mendesak Pemerintah Pusat RI Cq.
Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah agar membagi Dati II Luwu
menjadi 4 Dati II yang baru terdiri dari Dati II Palopo, Dati II Tanah Manai,
Dati II Masamba dan Dati II Malili”.
III. Kisaran Tahun 1966
Berdasarkan laporan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada sidang
seksi Pemerintahan V tanggal 2 Mei 1966, dihasilkan kesimpulan sepakat untuk
menyetujui tuntutan masyarakat Ex Kewedanaan Malili menjadi Daerah Tingkat II
dengan nama Kabupaten Malili dengan Ibukota di Malili. dilanjutkan pada
Paripurna VI DPRD Propinsi Sul-Sel tanggal 9 Mei 1966 disetujui Ex Kewedanaan
Malili menjadi Kabupaten. Lahirnya keputusan tersebut tidak dapat dilepaskan
dari peran kalangan mahasiswa yang berasal dari wilayah Eks Kewedanaan Malili,
dimana secara bersama-sama kalangan muda tersebut dengan penuh semangat
mendesak DPRD Propinsi Sulawesi Selatan untuk merekomendasikan pembentukan
Kabupaten di Wilayah Eks Kewedanaan Malili. Keputusan itu disikapi oleh
kalangan mahasiswa dengan semangat heroik dengan melakukan long-march dari
Makassar menuju ke wilayah Eks Kewedanaan Malili guna mensosialisaikan
Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan. Tidak sedikit rintangan yang dihadapi
mereka, baik karena minimnya fasilitas maupun tantangan kurangnya jaminan
keamanan pada masa itu. Hal tersebut, tidak sedikitpun melemahkan semangat para
Mahasiswa untuk menguinjungi wilayah Eks Kewedanaan Malili, mulai dari Wotu,
Mangkutana, Malili, Tabarano dan Timampu serta kembali ke Makassar. Beberapa
bulan kemudian dilakukan pertemuan antara perwakilan penuntut dan penggagas
Kabupaten yang diprakarsai oleh Ikatan Keluarga Eks Kewedanaan Malili (IKMAL)
dengan Gubernur Sulawesi Selatan, tepatnya pada tanggal 29 Agustus 1966,
Gubernur Sul-Sel pada waktu itu Achmad Lamo menyatakan: “Sebenarnya Malili
menjadi Kabupaten tinggal menunggu waktu saja “. Pada tanggal 8 Oktober 1966
Panitia Persiapan Pembentukan Daerah Tingkat II Malili dan Masamba menghadap
Sekjen Depdagri pada waktu itu (Soemarman, SH). Pada pertemuan itu, Sekjen
berjanji akan mengirimkan Tim ke Daerah yang bersangkutan.
IV. Kisaran Tahun 1999
Seiring dengan bergulirnya era reformasi yang telah memberikan
ruang kebebasan lebih luas terhadap `wacana pemekaran Daerah di Negara Kesatuan
Republik Indonesia, maka hal ini dimamfaatkan sebagai momentum yang kuat dalam
melanjutkan perjuangan aspirasi Masyarakat Ex Kewedanaan Malili untuk membentuk
sebuah Kabupaten. Pada awal tahun 1999, saat pemekaran Kabupaten Luwu sedang
dalam proses, timbul kembali aspirasi masyarakat yang kuat menginginkan
dan mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk merealisasikan pembentukan suatu
Kabupaten pada wilayah Eks Kewedanaan Malili sesuai dengan Amanat Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Propinsi
Sulawesi-Selatan.Menindaklanjuti aspirasi pemekaran Kabupaten Luwu yang
beragam, maka DPRD Provinsi Sulawesi Selatan melalui Surat Keputusan DPRD
Provinsi TK. I Sulawesi Selatan Nomor 21/III/1999, dijelaskan pada pasal 2
sebagai berikut ; Mengusulkan Kepada Pemerintah Pusat untuk selain
menyetujui Pemekaran Daerah TK. II Luwu menjadi 2 ( Dua ) kabupaten Daerah
Tingkat II Luwu Utara, agar melanjutkan Pemekaran Kabupaten Daerah Tingkat II
dengan menjadikan bekas Kewedanaan (Onder Afdeling) Masamba dan bekas
Kewedanaan (Onder Afdeling) Malili masing-masing menjadi Kabupaten Daerah
Tingkat II serta peningkatan Kota Administratif Palopo menjadi Kota Madya
Daerah TK. II. Meskipun aspirasi dan tuntutan masyarakat Luwu Timur untuk
membentuk Kabupaten Luwu Timur yang otonom sesuai dengan hak historis dan
kecukupan potensi yang dimiliki belum terealisasi, namun tidak mengurangi
semangat dan tekad masyarakat Luwu Timur untuk berjuang mewujudkan cita-cita
tersebut. Hal ini dibuktikan dengan digelarnya Pertemuan Akbar masyarakat Ex
Kewedanaan Malili pada tanggal 18 Maret 2000 di Gedung pertemuan Masyarakat
Malili yang menghasilkan rekomendasi tentang pembentukan Kabupaten Luwu Timur
dengan membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Kabupaten Ex Kewedanaan Malili
yang hasilnya telah diusulkan melalui surat Nomor 005/PP-Alu/2000 tanggal 20
April 2000 Tentang Usul Pemekaran Luwu Utara kepada Bupati Luwu Utara dan Ketua
DPRD Kabupaten Luwu Utara. Dalam menindaklanjuti aspirasi masyarakat Luwu Timur
maka lahirlah keputusan DPRD Luwu Utara mengeluarkan SK tentang Pembentukan
Pansus dan SK Nomor 04 Tahun 2001 Tanggal 31 Januari 2001 Tentang persetujuan
pemekaran Kabupaten Luwu Utara menjadi 2 ( dua ) wilayah Kabupaten Luwu Utara
dan Kabupaten Luwu Timur, yang merupakan prakarsa hak inisiatif DPRD Luwu
Utara. Hal ini, kemudian direspon oleh Pemerintah Kabupaten Luwu Utara sesuai
ketentuan dan mekanisme yang ditetapkan dalam PP. 129 Tahun 2000 tentang
persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan
daerah, yakni dengan melanjutkan keputusan DPRD Kabupaten Luwu Utara tentang
Persetujuan terhadap Pembentukan ex Kewedanaan Malili menjadi Kabupaten Luwu
Timur, kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan melalui surat tertanggal 04
April 2002, Nomor 100/134/Bina PB.Bang Wil .
V. Kisaran Tahun 2002 - 2003
Berdasarkan Keputusan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun
2002 tanggal 24 Mei 2002, tentang Persetujuan usul pemekaran Luwu Utara.
Gubernur Sulawesi Selatan menindaklanjuti dengan mengusulkan pembentukan
Kabupaten Luwu Timur dan Mamuju Utara kepada Menteri Dalam Negeri melalui Surat
Nomor 130/2172/Otoda tanggal 30 Mei 2002. Akhirnya, aspirasi perjuangan
masyarakat Luwu Timur yang diperjuangkan selama 44 tahun telah mencapai titik
kulminasi yaitu atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Presiden Republik Indonesia dengan disahkannya Undang - Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2003 tanggal 25 Februari 2003, Tentang
Pembentukan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Mamuju Utara di Provinsi
Sulawesi Selatan. Berdasarkan Undang - Undang tersebut, Gubernur Sulawesi
Selatan, atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada tanggal 3 Mei
2003 telah meresmikan sekaligus melantik penjabat Bupati Luwu Timur di Ruang
Pola Kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar. Kemudian pada tanggal 12 Mei
2003, sebagai penanda mulai berlangsungnya aktivitas pemerintahan dan
pembangunan di Kabupaten Luwu Timur yang baru terbentuk itu, maka Bupati Luwu
Utara dan Penjabat Bupati Luwu Timur secara bersama-sama meresmikan pintu
gerbang perbatasan Kabupaten Luwu Utara dan Kabupaten Luwu Timur yang ditandai
dengan pembukaan selubung papan nama perbatasan bertempat di Desa Lauwo antara
Kecamatan Burau Kabupaten Luwu Timur dan Kecamatan Bone - Bone, Kabupaten Luwu
Utara. Pada hari yang sama dilakukan prosesi penyerahan operasional
Pemerintahan dari Pemerintah Kabupaten Luwu Utara kepada Pemerintah Kabupaten
Luwu Timur bertempat di lapangan Andi Nyiwi, Malili. Dengan terbentuknya
Kabupaten Luwu Timur yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Luwu Utara
maka secara administratif Kabupaten Luwu Timur berdiri sendiri sebagai daerah
otonom yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Namun secara kultural,
historis dan hubungan emosional sebagai satu rumpun keluarga Tanah Luwu tetap
terjalin sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Demikian Kilas Balik
Terbentuknya Kabupaten Luwu Timur. Malili, Mei 2007 Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Luwu Timur, H. ANDI HASAN
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG LUWU TIMUR
Hijau
Tua
|
:
|
Melambangkan kematangan berfikir
bertindak dan terencana
|
Hijau
Muda
|
:
|
Mempunyai nilai estetis dan
dinamis
|
Kuning
|
:
|
Bermakna kesetiaan
|
Kuning
keemasan
|
:
|
Bermakna kemuliaan
|
Merah
|
:
|
Bermakna semangat dan keberanian
|
Putih
|
:
|
Bermakna kesucian
|
Oranye
|
:
|
Keselamatan , keamanan dan dapat
memberikan pertolongan
|
FALSAFAH LAMBANG LUWU TIMUR
A. SIMBOL :
Makna Logo Luwu Timur memiliki Visi dan Misi yang sangat dinamis
mencerminkan karakteristik daerah yang mengandung nilai Ketuhanan, Budaya,
Historis, Kejuangan, Persatuan dan Kesatuan.
•
BINTANG:
Melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Wujud dari Falsafah
negara Pancasila sebagaimana halnya Luwu Timur memiliki berbagai agama, etnis,
budaya yang berkepribadian sama mementingkan toleransi saling menghargai.
•
PAYUNG ( AMMAKUASANG) :
Melambangkan sifat mengayomi, melindungi kehidupan masyarakatnya,
sehingga tercipta sebagaimana falsafah “ Wanua Mappatuwo Naewai Alena
•
KOBARAN API :
Melambangkan semangat Kejuangan dengan kobaran jiwa yang tidak
mengenal mati sebelum memberi cahaya, membuktikan bahwa Luwu Timur dapat
memberikan kehidupan yang terbaik untuk rakyatnya.
•
GUNUNG :
Bermakna lebih tinggi menampakan bentuk yang lebih jelas seperti
halnya Luwu Timur dalam memberikan program pembangunan, memiliki visi dan misi
yang jelas dengan penuh komitmen, dan juga merupakan symbol dari kekayaan
Sumber daya alam yang dimiliki yang merupakan cadangan devisa dan sumber
pendanaan pembangunan wilayah Luwu Timur menuju negeri yang dapat
mensejahterakan seluruh masyarakatnya.
•
PABRIK (Cerobong Asap) :
Yang memberikan gambaran bahwa Luwu Timur ke depan merupakan
daerah Industri yang berbasis pada potensi kelokalan dengan tetap mempertahan
kulitas lingkungan hidup sehingga Sumber daya alam tetap dapat terwariskan
untuk generasi-generasi selanjutnya. Secara khusus daerah Luwu Timur merupakan
daerah Industri (tambang Nikel) yang merupakan hasil primadona, yang memberikan
konstribusi PAD terbesar di kawasan Timur Indonesia dan merupakan salah satu
penghasil nikel terbesar di dunia.
•
AIR :
Air memiliki sifat Tawaddu mencari titik terendah namun manusia
selalu menempatkan di tempat yang suci. Selain itu merupakan simbol daerah
maritim. Luwu Timur juga memiliki tiga (3) buah danau. Danau Matano , Danau
Towoti dan Mahalona., selain merupakan sumber air salah satu pembangkit listrik
tenaga air (PLTA) yang kita kenal dengan bendungan Larona yang merupakan aset
wisata daerah Luwu Timur. Juga merupakan salah satu danau purba (danau Matano).
•
WELENRENGNGE :
Merupakan pohon kehidupan dan kesuburan serta keseimbangan antara
Makro Kosmos dan Mikro Kosmos sehingga terjadi keterikatan, kerukunan,
kedamaian antara seluruh masyarakat dengan pemimpinnya. Welenrengnge secara
histories merupakan pohon yang menjadi bahan untuk pembuatan perahu/kapal yang
dipergunakan Sawerigading mengelilingi dunia.
•
PADI :
Yang melambangkan Kesejahteraan dapat tumbuh "satu jadi
seribu”. Yang menggambarkan bahwa Luwu Timur dapat mengembangkan pembangunan
dari hasil alamnya yang melimpah, dengan memiliki kontur alam, laut daratan dan
pegunungan Dua belas (12) bulir padi kiri dan kanan merupakan simbol dari 12
anak suku yang pernah ada di Kerajaan Luwu , yang secara bahu membahu di bawah
pajung ri Luwu membangun daerah ini
•
EMPAT MATA RANTAI YANG KOKOH :
Rantai berwarna Orange melambangkan Persatuan, Kesatuan, dan
keselamatan. Empat wilayah Tana Luwu yang tidak dapat terpisahkan secara
cultural historys. Yang saling melengkapi dalam kehidupan berbangsa dan
berbudaya.
•
LABUNGAWARU :
Merupakan salah satu benda pusaka kerajaan Luwu yang mempunyai
fungsi dan posisi yang sangat penting. Bagi seorang raja yang memerintah
kerajaan Luwu. Secara simbolis Labungawaru mencerminkan Keberanian, Kasatria
kegigihsn, ketegasan, Keteguhan dan Siri.
•
SAYAP BURUNG :
Secara historis melambangkan KUAJENG (Burung Garuda), secara
simbolis merupakan perwujudan semangat untuk menggapai dan mencapai cita-cita
serta perlambang dinamisasi kehidupan masyarakat Luwu Tumur., kebebasan,
keuletan, kesabaran serta setia mengembang amanah.
B.
POLA/BENTUK :
Berbentuk Perisai. Yang bermakna melindungi. Dan berkolaborasi
pada lambang empat wilayah yang secara historis memiliki banyak kesamaan Visi
dan Misi dalam naungan Pajung Ri Luwu Wanua Mappatuwo Na Ewai Alena
C.
TULISAN KAB. LUWU TIMUR :
Luwu merupakan daerah dibawah naungan satu kerajaan dimasa lalu
yang pada perkembangannya dimekarkan menjadi empat wilayah yaitu Kab. Luwu,
Kota Palopo, Kab. Luwu Utara dan Luwu Timur yang letaknya di bagian timur
sehingga di katakan Luwu Timur
Sumber : http://www.depdagri.go.id
3.
KABUPATEN LUWU UTARA
A. SEJARAH
LUWU UTARA
DESA kecil di bibir Danau Matano itu tak lagi menjadi desa yang
sunyi. Desa yang berjarak sekitar 600 kilometer di sebelah timur laut Makassar
itu rupanya menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, berupa kandungan deposit
nikel yang tak habis dieksploitasi hingga puluhan tahun.PT International Nickel
Indonesia (Inco) beruntung mendapatkan daerah itu, dan pada tahun 1968
memperoleh kontrak karya untuk menambang. Sejak itu, Desa Soroako yang terletak
di Kecamatan Nuha seakan tak pernah sepi dari suara ekskavator berukuran raksasa
yang terus berderu mengais isi Bumi.itu, 54,17 persen berada di wilayah
Sulawesi Selatan (Sulsel), selebihnya berada di Sulawesi Tenggara (Sultra) dan
Sulawesi Tengah (Sulteng). Produknya yang mencapai ratusan juta pon (puluhan
ribu ton) dalam bentuk nikel matte terutama diekspor ke Jepang. Kegiatan
eksplorasi tidak saja menjadi tambang dollar bagi Sulsel, tetapi juga menjadi
andalan utama bagi kabupaten yang menaunginya kini, yaitu Luwu Timur.Kabupaten
ini semula bagian dari Kabupaten Luwu Utara dan baru diresmikan sebagai daerah
otonom pada 25 Februari 2003 lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2003. Sebagai
kabupaten yang baru seumur jagung, Pemerintah Kabupaten Luwu Timur masih
berbenah. Belum terbentuknya DPRD membuat kabupaten ini belum memiliki lambang
daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta Dana Alokasi Umum
(DAU). Berbagai data yang menyangkut perekonomian Luwu Timur sebagian besar
masih belum dipisahkan dari kabupaten induk, Kabupaten Luwu Utara. Karena itu,
data yang ditampilkan di sini pun sebagian besar masih berasal dari Luwu
Utara.bagian dari Kabupaten Luwu Utara, pertambangan memang memberikan
sumbangan yang besar bagi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Luwu Utara.
Tahun 2001 sektor ini mempunyai peranan sebesar 57,86 persen. Penambangan nikel
di Desa Soroako menjadi penyumbang terbesar. Keberadaan PT Inco tak dimungkiri
memang menjadi ladang pemasukan kas daerah, terutama melalui bagi hasil pajak
serta dari pajak bumi dan bangunan (PBB), yang pada tahun 2001 mencapai Rp 4,8
miliar.Kini, setelah Luwu Timur menjadi kabupaten otonom, dan Desa Soroako
termasuk dalam wilayahnya, otomatis tambang dollar itu menjadi milik Luwu
Timur. PDRB 2002 Luwu Timur menunjukkan kontribusi sektor pertambangan mencapai
69,51 persen, disusul sektor pertanian 25,62 persen. Sektor pertambangan tetap
memegang peran penting bagi struktur perekonomian Luwu Timur.Kegiatan
penambangan itu juga membawa perubahan besar, khususnya bagi Desa Soroako yang
telah berkembang menjadi kawasan eksklusif. Walau letak Soroako terpencil di
perbatasan tiga provinsi, Sulsel, Sultra, dan Sulteng, sarana komunikasi di
desa itu tak memerlukan sambungan telepon interlokal, baik dari Makassar maupun
Jakarta. Sebab, nomor telepon untuk kawasan PT Inco berkode area Makassar dan
Jakarta. Infrastruktur di wilayah ini juga terbilang bagus. Jalan beraspal
mulus dan fasilitas listrik yang terbilang royal.Sayangnya, segala fasilitas
itu hanya bisa dinikmati di kawasan PT Inco dan permukiman karyawannya, serta
program pembangunan masyarakat PT Inco yang baru bisa dinikmati sebagian
penduduk yang tinggal di sekitar wilayah itu. Sementara di Kecamatan Towuti ada
beberapa desa yang belum menikmati benderangnya cahaya lampu listrik. Desa
Tokalimbo, Bantilang, dan Loeha, misalnya, walau sudah menikmati listrik, masih
terbatas dari pukul 18.00-06.00. Bahkan, Desa Mahalona belum terjamah listrik
sama sekali. Semua desa itu terletak di seberang Danau Matano, berseberangan
dengan Desa Soroako.Penduduk Luwu Timur sebagian besar menggantungkan hidup
dari lahan usaha pertanian. HasilSurvei Tenaga Kerja Daerah tahun 2002
menunjukkan, sektor pertanian menyerap 70,37 persen dari total 62.289 tenaga
kerja. Tanah dan cuaca Luwu Timur memang sangat cocok untuk usaha pertanian dan
perkebunan. Di Kecamatan Mangkutana, misalnya, saat masih menjadi bagian dari
Kabupaten Luwu Utara, kecamatan ini merupakan produsen padi terbesar kabupaten
itu. Tahun 2001 padi dari kecamatan ini memberi kontribusi sebesar 13,62 persen
dari total produksi padi di Luwu Utara.jagung terluas di Kecamatan Burau
mencapai 1.067 hektar, kedelai di Kecamatan Malili seluas 30 hektar, dan
tanaman buah-buahan, seperti pisang, jeruk, dan durian.Kelapa sawit menjadi
andalan kabupaten ini. Lahan perkebunan terdapat di Kecamatan Burau, Tomoni,
dan Wotu. Selain perkebunan rakyat, kelapa sawit juga dikelola perkebunan besar
swasta nasional dan perkebunan negara yang terbagi dalam perkebunan inti dan
plasma. Perkebunan kelapa sawit milik rakyat tersebar di Kecamatan Mangkutana,
Angkona, Malili, Tomoni, Burau, dan Wotu.
Meski di beberapa desa-terutama di desa-desa yang berada di
seberang Danau Towuti-infrastruktur jalan dan transportasi belum tembus hingga
ke sana, secara umum infrastruktur jalan dan transportasi bisa dibilang cukup
memadai.
Semua potensi hasil pertanian dan perkebunan Luwu Timur di masa
mendatang bisa menjadi andalan utama jika cadangan nikel di perut Bumi tak lagi
bisa diandalkan. Apalagi melihat PDRB Luwu Timur apabila tanpa sektor
pertambangan, kontribusi sektor pertanian menjadi yang utama. Sumbangannya bisa
mencapai 84 persen.
Jumlah tenaga kerja di sektor ini pun menurut Survei Penduduk
tahun 2000 menjadi yang terbesar, khususnya pertanian tanaman pangan (34,08
persen) dan perkebunan (25,9 persen). Pengembangan sektor pertanian ke arah
agroindustri dan agrowisata agaknya bisa menjadi pertimbangan sejak sekarang.
Potensi lain yang juga bisa dikembangkan adalah sektor pariwisata.
Di wilayah Luwu Timur terdapat tiga danau yang potensial sebagai obyek wisata
alam. Selain Danau Matano, dua danau lainnya adalah Danau Towuti dan Danau
Mahalona, yang semuanya masih asri. Obyek wisata alam lainnya berupa padang
perburuan Matano di Kecamatan Nuha dan air terjun Salu Anoang di Kecamatan
Mangkutana. Ada pula wisata sejarah Patung Megalit/Bolakodi, juga di Kecamatan
Mangkutana.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG LUWU UTARA
- Bintang Menggambarkan Ketuhanan Yang Maha Esa masyarakat Luwu Utara yang religius
- Payung Maejae Simbol Kekuasaan tertinggi raja Luwu yang (payung peroe) melambangkan kemanunggalan (masedi siri) antara pemerintah dan seluruh kornponen masyarakat Luwu Utara dan sekaligus simbol "pengayoman".
- Padi dan kapas Simbol kesejahteraan bagi masyarakat Luwu Utara yang cukup sandang dan pangan.
- Besi Pakkae Simbol kekuasaan raja Luwu maknanya adalah kesejahteraan egalitarian antara seluruh komponen masyarakat.
- Pohon sagu Simboi kerukunan, kekokohan, ketegaran masyarakat Luwu Utara.
- Wadah gambar Simbol dasar negara, wadah dalam kehidupan bersudut lima bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
- Pita Simbol pengikat persaudaraan.
- Payung dan besi Menggambarkan masyarakat Luwu Utara yang pakkae bermasyarakat dan berbudaya.
4. KABUPATEN LUWU
A.
SEJARAH
KABUPATEN LUWU
Sejarah Tanah Luwu sudah
berawal jauh sebelum masa pemerintahan Hindia Belanda bermula. Sebelumnya Luwu telah menjadi sebuah kerajaan yang mewilayahi Tana Toraja (Makale, Rantepao) Sulawesi Selatan, Kolaka(Sulawesi Tenggara) dan Poso (Sulawesi Tengah). Hal sejarah Luwu ini dikenal
pula dengan nama Tanah Luwu yang dihubungkan dengan nama La Galigo danSawerigading.
Setelah Belanda menundukkan Luwu, mematahkan
perlawanan Luwu pada pendaratan tentara Belanda yang ditantang oleh hulubalang Kerajaan LuwuAndi Tadda bersama dengan
laskarnya di Ponjalae pantai Palopo pada tahun1905.
Belanda selanjutnya mebangun sarana dan prasarana untuk memenuhi keperluan
pemerintah penjajah diseluruh wilayah kerajaan Luwu mulai dari Selatan,
Pitumpanua ke utara Poso, dan dari Tenggara Kolaka (Mengkongga) ke Barat Tana
Toraja. Pada Pemerintahan Hindia Belanda, sistem pemerintahan di Luwu dibagi
atas dua tingkatan pemerintahan, yaitu:
§ Pemerintahan tingkat
tinggi dipegang langsung oleh Pihak Belanda.
§ Pemerintahan tingkat
rendah dipegang oleh Pihak Swapraja.
Dengan terjadinya
sistem pemerintahan dualisme dalam tata pemerintahan di Luwu pada masa itu,
pemerintahan tingkat tinggi dipegang oleh Hindia Belanda, dan yang tingkat
rendah dipegang oleh Swapraja tetapi tetap masih diatur oleh Belanda, namun
secarade jure Pemerintahan
Swapraja tetap ada. Menyusul setelah Belanda berkuasa penuh di Luwu, maka
wilayah Kerajaan Luwu mulai diperkecil, dan dipecah sesuai dengan kehendak dan
kepentingan Belanda, yaitu:
§ Poso (yang masuk
Sulawesi Tengah sekarang) yang semula termasuk daerah Kerajaan Luwu dipisahkan,
dan dibentuk satu Afdeling.
§ Distrik Pitumpanua (sekarang Kecamatan Pitumpanua dan Keera) dipisah dan
dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Wajo.
§ Kemudian dibentuk
satu afdeling di Luwu yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen yang berkedudukan di Palopo.
Selanjutnya
Afdeling Luwu dibagi menjadi 5 (lima) Onder Afdeling, yaitu:
§ Onder Afdeling
Palopo, dengan ibukotanya Palopo.
§ Onder Afdeling
Makale, dengan ibukotanya Makale.
§ Onder Afdeling
Masamba, dengan ibukotanya Masamba.
§ Onder Afdeling
Malili, dengan ibukotanya Malili.
§ Onder Afdeling
Mekongga, dengan ibukotanya Kolaka.
Selanjutnya pada
masa pendudukan tentara Dai Nippon, Pemerintah Jepang tidak mengubah sistem pemerintahan,
yang diterapkan tentara Dai Noppon pada masa berkuasa di Luwu (Tahun 1942),
pada prinsipnya hanya meneruskan sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh
Belanda, hanya digantikan oleh pembesar-pembesar Jepang. Kedudukan Datu Luwu
dalam sistem pemerintahan Sipil, sedangkan pemerintahan Militer dipegang oleh Pihak Jepang. Dalam
menjalankan Pemerintahan Sipil, Datu Luwu diberi kebebasan, namun tetap diawasi
secara ketat oleh pemerintahan Militer Jepang yang sewaktu-waktu siap menghukum
pejabat sipil yang tidak menjalankan kehendak Jepang, dan yang menjadi
pemerintahan sipil atau Datu Luwu pada masa itu ialah " Andi Kambo Opu
Tenrisompa" kemudian diganti oleh putranya "Andi Patiware" yang
kemuadian bergelar "Andi Jemma".
Pada bulan April 1950 Andi Jemma dikukuhkan kembali
kedudukannya sebagai Datu/Pajung
Luwu dengan wilayah seperti sediakala. Afdeling Luwu meliputi lima onder
Afdeling Palopo, Masamba, Malili, Tana Toraja atau Makale, Rantepao dan Kolaka.
Tahun 1953 Andi Jemma Datu Luwu diangkat menjadi
Penasehat Gubernur Sulawesi,
waktu itu Sudiro. Ketika Luwu dijadikan Pemerintahan Swapraja, Andi Jemma
diangkat sebagai Kepala Swapraja Luwu, pada tahun 1957 hingga 1960.
Atas jasa-jasa
beliau terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia,
Andi Jemma telah dianugerahi Bintang Gerilya tertanggal 10 November 1958,
Nomor 36.822 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Pada masa periode kepemimpinan Andi Jemma sebagai Raja atau Datu Luwu terakhir,
sekaligus menandai berakhirnya sistem pemerintahan Swatantra (Desentralisasi). Belasan tanda jasa kenegaraan
Tingkat Nasional telah diberikan kepada Andi Jemma sebelum beliau wafat tanggal 23 Februari 1965 di Kota Makassar.
Presiden Soekarno memerintahkan agar Datu Luwu dimakamkan secara kenegaraan di ‘Taman Makam
Pahlawan’ Panaikang Makassar, yang dipimpin langsung oleh Panglima Kodam Hasanuddin.
Selanjutnya pada
masa setelah Proklamasi Kemerdekaan
RI, secara otomatis Kerajaan Luwu berintegrasi masuk kedalam Negara Republik
Indonesia. Hal itu ditandai dengan adanya pernyataan Raja Luwu pada masa itu
Andi Jemma yang antara lain menyatakan "Kerajaan Luwu adalah bagian dari
Wilayah Kesatuan Republik Indonesia".
Pemerintah Pusat
mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.34/1952 tentang Pembubaran Daerah Sulawesi
Selatan bentukan Belanda/Jepang termasuk Daerah yang berstatus Kerajaan.
Peraturan Pemerintah No.56/1951 tentang Pembentukan Gabungan Sulawesi Selatan.
Dengan demikian daerah gabungan tersebut dibubarkan dan wilayahnya dibagi
menjadi 7 tujuh daerah swatantra. Satu di antaranya adalah daerah Swatantra
Luwu yang mewilayahi seluruh daerah Luwu dan Tana Toraja dengan pusat
Pemerintahan berada di Kota Palopo.
Berselang beberapa
tahun kemudian, Pemerintah Pusat menetapkan beberapa Undang-Undang Darurat,
antara lain:
§ Undang-Undang Darurat
No. 3/1957 tentang Pembubaran Daerah Luwu dan Pembentukan Bone,
Wajo dan Soppeng.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. 4/1957, maka Daerah Luwu
menjadi daerah Swatantra dan terpisah dengan Tana Toraja.
Daerah Swatantra
Luwu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat No.3/1957 adalah meliputi:
§ Kewedanaan Palopo
§ Kewedanaan Masamba
dan
§ Kewedanaan Malili
Kemudian pada
tanggal 1
Maret 1960 ditetapkan PP Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pembentukan Propinsi Administratif Sulawesi Selatan
mempunyai 23 Daerah Tingkat II, salah satu diantaranya
adalah Daerah Tingkat II Luwu.
Untuk menciptakan
keseragaman dan efisiensi struktur Pemerintahan Daerah, maka berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.1100/1961,
dibentuk 16 Distrik di Daerah Tingkat II Luwu, yaitu:
§ Wara
§ Larompong
§ Suli
§ Bajo
§ Bupon
§ Bastem
§ Walenrang(Batusitanduk)
§ Limbong
§ Sabbang
§ Malangke
§ Masamba
§ Bone-Bone
§ Wotu
§ Mangkutana
§ Malili
§ Nuha
Dengan 143 Desa
gaya baru. Empat bulan kemudian, terbit SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan Tenggara No.2067/1961 tanggal 18 Desember 1961 tentang Perubahan Status Distrik di
Sulawesi Selatan termasuk di Daerah Tingkat II Luwu menjadi Kecamatan.
Dengan berpedoman pula pada SK tersebut, maka status Distrik di Daerah Tingkat
II Luwu berubah menjadi kecamatan dan nama-nama kecamatannya tetap berpedoman
pada SK Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Tenggara No.
1100/1961 tertanggal 16 Agustus 1961,
dengan luas wilayah 25.149 km2.
Perkembangan dari
segi Administratif Pemerintahan di Dati II Luwu, selain pemekaran kecamatan, desa dan kelurahan juga ditetapkannya Dati II Luwu
sebagai salah satu Kota
Administratif (KOTIP)
berdasarkan SK Mendagri No.42/1986 tanggal 17 September1986.
Dengan demikian
secara Administratif Dati II Luwu terdiri dari satu Kota Administratip, tiga
Pembantu Bupati, 21 Kecamatan Definitif, 13 Kecamatan Perwakilan, 408 Desa
Definitif, 52 Desa Persiapan dan Kelurahan dengan luas wilayah berdasarkan data
dari Subdit Tata Guna Tanah Direktorat Agraria Propinsi Sulawesi Selatan adalah
17.791,43 km2 dan dikuatkan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tingkat I
Sulawesi Selatan Nomor 124/III/1983 tanggal 9
Maret 1983 tentang penetapan luas propinsi,
kabupaten/kotamadya dan kecamatan dalam wilayah propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan.
Luas Wilayah
Propinsi Kabupaten/Kotamadya dan Kecamatan yang ada sekarang sudah tidak sesuai
lagi dengan keadaan nyata dilapangan oleh karena telah terjadi penyempurnaan
batas wilayah antar propinsi di Sulawesi Selatan, maka melalui kerjasama Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi
Sul-Sel dan Topografi Kodam VII Wirabuana, Pemerintah
Propinsi Tingkat I Sulawesi Selatan telah berhasil menyusun data tentang luas
wilayah propinsi, kabupaten/ kotamadya dan kecamatan di daerah Propinsi Daerah
Tingkat I Sulawesi Selatan dengan Surat Keputusan Gubernur KDH Tk.I Sul-Sel
Nomor : SK.164/IV/1994 tanggal 4
April 1994.
Total luas wilayah Kabupaten Luwu adalah 17.695,23 km2 dengan 21
kecamatan definitif dan 13 Kecamatan Pembantu.
Pada tahun 1999,
saat awal bergulirnya Reformasi di seluruh wilayah Republik Indonesia, dimana
telah dikeluarkannya UU No.22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan di Daerah, dan
mengubah mekanisme pemerintahan yang mengarah pada Otonomi Daerah.
Tepatnya pada
tanggal 10 Februari 1999,
oleh DPRD Kabupaten Luwu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
03/Kpts/DPRD/II/1999, tentang Usul dan Persetujuan Pemekaran Wilayah Kabupaten
Dati II Luwu yang dibagi menjadi dua Wilayah Kabupaten dan selanjutnya Gubernur
KDH Tk.I Sul-Sel menindaklanjuti dengan Surat Keputusan No.136/776/OTODA
tanggal 12 Februari 1999.
Akhirnya pada tanggal 20
April 1999,
terbentuklah Kabupaten Luwu Utara ditetapkan dengan UU Republik Indonesia No.13
Tahun 1999.
Pemekaran Wilayah
Kabupaten Dati II Luwu terbagi atas:
1.
Kabupaten Dati II Luwu dengan batas Saluampak Kec. Lamasi dengan
batas Kabupaten Wajo dan Kabupaten Tana Toraja, dari 16 kecamatan, yaitu:
§ Kecamatan Lamasi
§ Kecamatan Walenrang
§ Kecamatan Pembantu
Telluwanua
§ Kecamatan Warautara
§ Kecamatan Wara
§ Kecamatan Pembantu
Wara Selatan
§ Kecamatan Bua
§ Kecamatan Pembantu
Ponrang
§ Kecamatan Bupon
§ Kecamatan Bastem
§ Kecamatan Pembantu
Latimojong
§ Kecamatan Bajo
§ Kecamatan Belopa
§ Kecamatan Suli
§ Kecamatan Larompong
§ Kecamatan Pembantu
Larompong Selatan
2.
Kabupaten Luwu Utara dengan
batas Saluampak Kec. Sabbang sampai dengan batas Propinsi Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Tenggara, terdiri dari 19 Kecamatan, yaitu:
§ Kecamatan Sabbang
§ Kecamatan Pembantu
Baebunta
§ Kecamatan Limbong
§ Kecamatan Pembantu
Seko
§ Kecamatan Malangke
§ Kecamatan Malangke
Barat
§ Kecamatan Masamba
§ Kecamatan Pembantu
Mappedeceng
§ Kecamatan Pembantu Rampi
§ Kecamatan Sukamaju
§ Kecamatan Bone-Bone
§ Kecamatan Pembantu
Burau
§ Kecamatan Wotu
§ Kecamatan Pembantu
Tomoni
§ Kecamatan Mangkutana
§ Kecamatan Pembantu
Angkona
§ Kecamatan Malili
§ Kecamatan Nuha
§ Kecamatan Pembantu
Towuti
3.
Kota Palopo adalah salah saatu Daerah Tingkat II di provinsi
Sulawesi Selatan, Indonesia. Kota Palopo sebelumnya berstatus kota
administratif yang berlaku sejak 1986 berubah menjadi kota otonom sesuai dengan
UU Nomor 11 tahun 2002 tanggal 10
April 2002.
Kota ini memiliki luass wilayah 155,19 Km2 dan berpenduduk sejumlah 120.748
jiwa dan dengan jumlah Kecamatan:
§ Kecamatan Wara
§ Kecamatan Wara Utara
§ Kecamatan Wara
Selatan
§ Kecamatan Telluwanua
§ Kecamatan Wara Timur
§ Kecamatan Wara Barat
§ Kecamatan Mungkajang
§ Kecamatan Bara
§ Kecamatan Sendana
4.
Kabupaten Luwu Timur adalah
salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Kabupaten
ini berasal dari pemekaran Kabupaten Luwu Utara yang disahkan dengan UU Nomor 7
Tahun 2003 pada tanggal 25 Februari 2003.
Kabupaten ini memiliki luas wilayah 6.944,98 km2, dengan Kecamatan
masing-masing:
§ Kecamatan Angkona
§ Kecamatan Burau
§ Kecamatan Malili
§ Kecamatan Mangkutana
§ Kecamatan Nuha
§ Kecamatan Sorowako
§ Kecamatan Tomoni
§ Kecamatan Tomoni
Utara
§ Kecamatan Towuti
§ Kecamatan Wotu
Setelah pembagian
Wilayah Kabupaten Luwu dari dua Kabupaten menjadi tiga Kabupaten dan satu Kota,
maka secara otomatis luas Wilayah Kabupaten ini berkurang dengan Kabupaten
Luwu, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Luwu Timur dan Kota Palopo berdasarkan
batas yang telah ditetapkan, yaitu:
§ Wilayah
Kabupaten Luwu adalah 3.092,58 km2
§ Luas Wilayah
Kabupaten Luwu Utara adalah 7.502,48 km2
§ Luas Wilayah Kota Palopo
menjadi 155.19 km2.
§ Luas Wilayah
Kabupaten Luwu Timur menjadi 6.944,98 km2.
No comments:
Post a Comment