1. KABUPATEN
MAROS
A. SEJARAH
KABUPATEN MAROS
Wilayah
Kabupaten Maros pada mulanya adalah suatu wilayah kerajaan yang dikenal sebagai
Kerajaan Marusu yang kemudian bernama Kabupaten Maros sampai saat ini. Selain
nama Maros, masih terdapat nama lain daerah ini, yakni Marusu dan/atau
Buttasalewangan. Ketiga nama tersebut oleh sebagian masyarakat Kabupaten Maros
sangat melekat dan menjadikan sebagai lambang kebanggaan tersendiri dalam
mengisi pembangunan daerah.
Berdasarkan data-data yang diperoleh, terutama salah satu putra daerah, yakni
Andi Fahry Makkasau dari bukunya berjudul “Kerajaan-Kerajaan di Maros Dalam
Lintasan Sejarah”, memuat sejarah Kabupaten Maros. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa Kabupaten Maros pada awalnya adalah sebuah wilayah kerajaan
yang dipengaruhi oleh dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yakni Kerajaan
Bone dan Kerjaan Gowa, yang mana pada waktu itu, Maros memiliki nilai strategis
yang sangat potensial. Kabupaten Maros dari dulu hingga saat ini dihuni oleh
dua suku, yakni Suku Bugis dan Suku Makassar.
Pada masa kemerdekaan, yakni tujuh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI
tanggal 17 Agustus 1945 oleh pemerintah Republik Indonesia dikeluarkan
peraturan No. 34 1952 juncto PP. No. 2/1952 tentang pembentukan Afdelling
Makassar yang di dalamnya tercakup Maros sebagai sebuah Onderafdelling dengan
16 buah distrik, masing-masing :
1.
|
Distrik Turikale
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
2.
|
Distrik Marusu
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
3.
|
Distrik Simbang
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
4.
|
Distrik Bontoa
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
5.
|
Distrik Lau’
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
6.
|
Distrik Tanralili
|
Dipimpin oleh Karaeng
|
7.
|
Distrik Sudiang
|
Dipimpin oleh Gelarang
|
8.
|
Distrik Moncongloe
|
Dipimpin oleh Gelarang
|
9.
|
Distrik Bira
|
Dipimpin oleh Gelarang
|
10.
|
Distrik Biringkanaya
|
Dipimpin oleh Gelarang
|
11.
|
Distrik Mallawa
|
Dipimpin oleh Arung
|
12.
|
Distrik Camba
|
Dipimpin oleh Arung
|
13.
|
Distrik Cendrana
|
Dipimpin oleh Arung
|
14.
|
Distrik Laiya
|
Dipimpin oleh Arung
|
15.
|
Distrik Wanua Waru
|
Dipimpin oleh Arung
|
16.
|
Distrik Gantarang Matinggi
|
Dipimpin oleh Arung
|
Ke enam belas distrik diatas merupakan pusat-pusat pemerintahan di Kabupaten
Maros pada masa lampau yang kemudian berkembang seiring dengan kemajuan
pembangunan secara lokal maupun regional, maka sebagian wilayah Kabupaten Maros
terintegrasi ke wilayah administrasi Kotamadya Ujungpandang (Ujungpandang
berubah nama menjadi Kota Makassar). Adapun wilayah distrik Kabupaten Maros
tersebut yang terintegrasi di wilayah administrasi Kota Makassar tersebut
adalah Distrik Bira, Suding dan Biringkanaya. Pelepasan wilayah Bira, Sudiang
dan Biringkanaya tersebut dari wilayah Kabupaten Maros terjadi pada tahun
70-an.
Wilayah Kabupaten Maros dalam sejarahnya telah mengalami pemekaran wilayah.
Pada tahun 1963, Kabupaten Maros terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yakni
Kecamatan Maros Baru, Bantimurung, Mandai, dan Camba. Memasuki tahun 1989,
diadakan pemekaran wilayah kecamatan dengan dibentuknya 3 (tiga) kecamatan
perwakilan, yakni Kecamatan Perwakilan Tanralili, Maros Utara, dan Mallawa,
yang hingga saat ini saat ini terdapat 14 wilayah kecamatan. Masing-masing
wilayah kecamatan tersebut memiliki potensi tersendiri dalam menunjang
pembangunan wilayah. Disampin itu, Kabupaten Maros memiliki peranan yang sangat
berarti dalam pembangunan Kota Makassar sebagai ibukota provinsi dan sekaligus
sebagai pusat pengembangan wilayah Kawasajn Timur Indonesia (KTI). Peluang
inilah membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan wilayah
Kabupaten Maros, terutama wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Kota Makassar.
Sedangkan rencana pembangunan wilayah secara eksternal, sebagian wilayah
Kabupaten Maros masuk dalam pengembangan Kawasan Mamminasata sebagai kawasan
kota metropolitan.
Setelah menjalani titian sejarah selama lima abad dimulai dengan berdirinya
Kerajaan Marusu pada awal abad XV yang selanjutnya terjadi kehidupan yang
berdinamika bagi setiap kerajaan mulai dari sistem Monarki menjadi daerah
Regentschap kemudian menjadi daerah Adat Gemeenschap sampai dekade terakhir
menjadi distrik, maka dalam sebuah masa peralihan antara fase pemerintahan
klasik/tradisional dengan pemerintahan konstitusional lahir Undang-undang No.
29 Tahun 1959 (14 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945).
Undang-undang tersebut menjadi dasar hukum berdirinya Kabupaten Daerah Tingkat
II se Sulawesi Selatan termasuk didalamnya adalah Kabupaten Maros yang meliputi
gabungan tiga persekutuan adat. Setelah terbentuknya Maros sebagai wilayah
administrasi kabupaten dari tahun 1960 sampai sekarang, telah dipimpin oleh 11
(sebelas) Bupati Kepala Daerah.
Kabupaten Maros dengan ibukota kabupaten adalah Kota Maros yang berperan
sebagai pusat pemerintahan dengan segala aktivitas sosial, ekonomi, budaya, dan
politikterletak di Kecamatan Turikale. Jika dilihat dari gegrafis wilayah yang
lebih mikro, Kota Maros terbagi atas 3 (tiga) segmen kawasan yang merupakan
bagian dari pusat-pusat pemerintahan Kabupaten Maros dan dihubhungkan oleh
jaringan jalan arteri. Sedangkan ditinjau dari perkembangan wilayah, juga
terjadi pada arah jaringan jalan arteri sekunder yang menghubungkan dengan
wilayah Kabupaten Bone, yang meliputi wilayah Kecamatan Bantimurung, Simbang,
Cenrana, Camba dan Mallawa.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN MAROS
1.
Dasar dari lambang yang
berbentuk PERISAI menggambarkan keuletan, ketangkasan dan kejujuran.
2. BAJAK (Rikkala atau
Pajeko) menggambarkan kehidupan masyarakat yang berorientasi pada bidang
pertanian.
3.
KERIS TERHUNUS yang pangkalnya bertuliskan MAROS menggambarkan sifat patriotik rakyat.
4.
GUNUNG melambangkan keagungan dan air melambangkan pengairan serta daerah
wisata.
5.
RANTAI MELINGKAR BERMATA
29 menggambarkan kekuatan dan
persatuan rakyat.
6. 17 BUAH PADI dan 4 KUNTUM BUNGA KEMIRI dan 5 HELAI DAUNNYA berada diatas sayap berbulu delapan mengingatkan kita terhadap
detik proklamasi 17-8-1945.
7.
HURUF LONTARA’ menggambarkan dari tiga persekutuan masyarakat
hukum adat.
Sumber
: http://www.depdagri.go.id
2. KABUPATEN
PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP)
A. SEJARAH
KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP)
A. Kerajaan Siang
Siang dalam nomenklatur Portugis disebut Sciom atau Ciom. Nama “Siang” berasal dari kata “ kasiwiang” , yang berarti persembahan kepada raja (homage
rendu a' un souverain) . (Pelras, 1977 : 253). Bekas
pusat wilayah Kerajaan Siang, SengkaE – sekarang ini terletak di Desa Bori
Appaka, Kecamatan Bungoro, Pangkep – telah dikunjungi oleh kapal–kapal Portugis
antara tahun 1542 dan 1548. (M Ali Fadhillah, 2000).
Pelras mengemukakan bahwa selama masa pengaruh Luwu di semenanjung
timur Sulawesi Selatan, kemungkinan dari Abad X hingga Abad XVI, terdapat
kerajaan besar lain di semenanjung barat, dikenal dengan nama Siang, yang
pertama kali muncul pada sumber Erofah dalam peta Portugis bertarikh 1540.
Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah pernah ditaklukkan oleh
Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang
“lebih besar” dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Sumber Portugis
menyebutkan Siang pernah diperintah seorang raja bernama Raja Kodingareng ( Gadinaro , menurut dialek orang Portugis), sezaman dengan Don Alfonso, Raja
Portugal I dan Paus Pascal II. (A Zainal Abidin Farid : 1986).
Pada tahun 1540 atau jauh sebelumnya, pelabuhan Siang sudah banyak
dikunjungi pedagang dari berbagai penjuru kepulauan Nusantara, bahkan dari
Erofah. Pengamat Portugis, Manuel Pinto, memperkirakan pada tahun 1545 Siang
berpenduduk sekitar 40.000 jiwa. Penguasanya sangat yakin terhadap sumber –
sumber daya dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negaranya sehingga menawarkan
untuk menyuplai seluruh kebutuhan pangan Kerajaan Malaka (Pelras 1973 : 53).
Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Gowa dan Tallo pernah jadi vasal Siang.
Tradisi lisan setempat mempertahankan pandangan ini. Penemuan arkeologi
berharga di bekas wilayah Siang kelihatannya lebih memperkuat asumsi bahwa
kerajaan ini adalah bisa jadi adalah kerajaan besar di pantai barat Sulawesi
Selatan sebelum bangkitnya Gowa dan Tallo (Pelras, 1973 : 54).
Pada Tahun 1542, Antonio de Paiva, menyinggahi pusat wilayah
Kerajaan Siang dan tinggal di Siang untuk beberapa waktu, sebelum melanjutkan
perjalanan ke arah utara menuju Sulawesi Tengah untuk mencari Kayu Cendana (sandal wood) . Ketika kembali tahun 1544, de
Paiva singgah di tiga tempat, yaitu : Suppa, Siang dan Gowa (Pelras, 1973 :
41). Catatan de Paiva menyebutkan bahwa Gowa adalah sebuah kota yang besar
“yang dulunya merupakan kerajaan bawahan Siang, namun tidak lagi begitu”.
(Pelras, 1973 : 47). Laporan de Paiva ini menunjukkan kemungkinan Siang berada
pada puncak kejayaan dan kemasyhuran sekitar Abad XIV – akhir XVI.
Pelras dari penelitian awalnya terhadap sumber Erofah dan sumber
lokal, menyatakan Siang, sebagai pusat perdagangan penting dan mungkin juga
secara politik antara Abad XIV - XVI. Pengaruhnya menyebar hingga seluruh
pantai barat dan daerah yang dulunya dikenal Kerajaan Lima'e Ajattapareng hingga ke selatan perbatasan
kerajaan Makassar, yakni Gowa-Tallo. Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang
menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan
pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain
Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan
Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya
membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung
Abad XVI. (Pelras 1977 : 252-5).
Abdul Razak Dg Mile menyatakan bahwa Raja Siang yang pertama
disebut Tu-manurunge Ri Bontang (A. Razak Dg Mile, PR : 1975). Sementara M Taliu menyebut periode
pertama Kerajaan Siang, digagas seorang tokoh perempuan,Manurunga ri
Siang , bernama Nasauleng bergelar Puteri Kemala Mutu Manikkang . Garis keturunan Tomanurung Ri Siang inilah yang berganti-ganti
menjadi raja di Siang ( asossorangi ma'gauka ) sampai tiba masanya Karaeng Allu memerintah di Siang paska
Kerajaan Siang dibawah dominasi Kerajaan Gowa.
Sumber tradisi lisan menyebutkan bahwa penggagas dinasti Siang
mempunyai lima saudara laki-laki dan perempuan yang masing – masing mendirikan
Kerajaan Gowa, Bone, Luwu, Jawa dan Manila. Dalam tradisi tutur yang berkembang
di Pangkajene diyakini bahwa Siang mempunyai tempat istimewa dibandingkan
dengan kerajaan lainnya. Barangkali keterangan Pelras mengonfirmasikan tradisi
tersebut, bahwa kendati Siang telah menjadi vasal Gowa pada akhir Abad XVII, adat Siang mengharuskan agar raja –
raja dari negeri besar lain yang melintasi terirori Siang memberi hormat pada“Karaeng
Siang” . (M Ali Fadhillah, 2000 : 17). Sumber Portugis banyak menunjuk
periode-periode awal pertumbuhan situs-situs niaga di pesisir barat,
sebagaimana catatan Pelras (1977 : 243) melihat, gelombang kedatangan Portugis
ke Siang sepanjang pertengahan pertama dan akhir Abad XVI, mengacu pada masa
dimana Siang sedang menurun dalam perannya sebagai kota niaga dan pusat politik
di pesisir barat teritori Makassar. Dugaan itu mempunyai estimasi bahwa Siang
mengacu pada apa yang dilukiskan orang dengan istilah Makassar (Macacar).
Dari kesejajaran konteks sejarahnya dengan Bantaeng di pesisir
selatan, Siang dapat diterangkan pada periode pertama sebagai pelabuhan kurang
dikenal, tetapi bukti-bukti arkeologi mendorong kita mengajukan estimasi awal
bahwa Siang telah masuk dalam jaringan perdagangan mungkin langsung dengan
pelabuhan-pelabuhan sebelah barat kepulauan. Apabila Bantaeng dan Luwu pada
masa jatuhnya Majapahit mulai pudar peranannya, sebaliknya Siang, semakin
meningkat dengan jatuhnya Kerajaan Malaka berkat gelombang kedatangan pedagang
Melayu dari Johor, Pahang dan mungkin dari daratan Asia Tenggara daratan
lainnya.
Pada periode kedua, sejalan dengan semakin jauhnya garis pantai
akibat pengendapan sungai Siang sebagai akses utama memasuki kota itu, dan
kepindahan koloni pedagang Melayu ke Gowa di pesisir barat, bahkan sampai Suppa
dan Sidenreng di daratan tengah Sulawesi Selatan membuat Siang kehilangan
fungsi utamanya sebagai sebuah pelabuhan penting, dibarengi meredupnya pengaruh
pusat politiknya. Sampai disini, nasib Siang tidak berbeda dengan Bantaeng,
eksis tetapi berada dibawah bayang-bayang kontrol kekuasaan Gowa-Tallo.
Pusat kerajaan Siang pada mulanya tumbuh berkat adanya
sumber-sumber alam : kelautan, hasil hutan dan mungkin mineral serta padi
ladang yang dieksploitasi oleh suatu populasi penduduk Makassar yang telah lama
mengenal jaringan perdagangan laut yang luas dengan memanfaatkan muara sungai
sebagai akses komunikasi utama. Frekuensi kontaknya dengan komunitas lain
membawa perubahan pada pola ekonomi, terutama setelah mengenal teknologi
penanaman padi basah (sawah) dan memungkinkan peralihan kegiatan ekonomi sampai
ke pedalaman dengan pembukaan hutan-hutan untuk peningkatan produksi padi
sebagai komoditas utama.
Tome Pires mencatat bahwa satu tahun setelah jatuhnya Malaka
(1511), pulau – pulau Macacar (Makassar) merupakan tempat – tempat yang terikat dalam jaringan
perdagangan interinsuler. Meskipun Pires menduga bahwa perdaganganMacacar masih kurang penting, tetapi sejak itu, sudah menawarkan rute
langsung ke Maluku dengan melalui pesisir – pesisir selatan Kalimantan dan Sulawesi
; sebuah alternatif dari rute tradisional melalui pesisir utara Jawa dan
kepulauan Nusa Tenggara. Namun kita harus menunggu sampai pertengahan Abad XVI,
untuk mengetahui gambaran Sulawesi Selatan, yaitu sejak perjalanan Antonio de
Paiva (1542-1543) dan Manuel Pinto (1545-1548) ke pesisir barat Sulawesi
Selatan. Tome Pires menyebut beras sebagai produk utama Macacar. Dan
kenyataannya, para pelaut Portugis belakangan telah mempunyai kesan khusus akan
kesuburan negeri-negeri Sulawesi Selatan yang terkenal dengan hasil hutan,
beras dan makanan lainnya. (Cortesao, 1944 dalam M Ali Fadhillah, 2000).
Tonggak sejarah kolonial di Gowa tahun 1667 juga berdampak kuat di
Siang. Kekalahan Gowa menghadapi aliansi Belanda-Bone berarti juga kekalahan
dinasti Gowa dan kebangkitan kembali dinasti Barasa yang mendukung Arung
Palakka. I Johoro Pa'rasanya Tubarania naik sebagai penguasa lokal, I Joro juga digelari Lo'moki
Ba'le (penguasa dari seberang), karena ia kembali dari seberang laut
(Jawa dan Sumatera) mengikuti misi Arung Palakka ke negeri sebelah barat
nusantara.
Sejarah kekaraengan Lombassang atau Labakkang mulai dikenal
sesudah menurunnya pamor politik ekonomi Siang. Penguasa Labakkang turut
membantu Gowa menundukkan Kerajaan Barasa, dinasti pengganti Siang di Pangkajene.
Setelah Gowa kalah dari Belanda (1667), Labakkang lepas dari Gowa dan masuk ke
dalam kontrol VOC sebelum akhirnya menjadi wilayah administrasi Noorderpprovincien , lalu menjadi Noorderdistrichten dalam kendali administrasi Belanda berpusat di Fort
Rotterdam ( Benteng Jumpandang ). Somba Labakkang ketika itu didampingi anggota adatBujung
Tallua , yang berkuasa di unit politik dan teritorial sendiri, yakni di
Malise, Mangallekana dan Lombasang, sebelum lebih kompleks lagi dengan
bergabungnya penguasa-penguasa kecil lainnya.
Sistem politik yang diterapkan Kerajaan Gowa terhadap negeri –
negeri taklukannya itu adalah menempatkan Ana' Bate
Karaeng , biasa disebut bate-bate'a). kemudian disusul perkawinan keluarga Kerajaan Gowa, pada puncaknya
Kerajaan Siang menjadi negeri keluarga kerajaan Gowa yang tidak lagi bisa
dipisahkan sampai tahun 1668. Sampai saat ini tidak ada satupun sumber sejarah
dapat memastikan umur Kerajaan Siang sampai ditaklukkan Kerajaan Gowa – Tallo.
Kerajaan Siang dibawah hegemoni pemerintahan Gowa sekitar 1512 - 1668.
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Sistem budaya yang mewarnai kehidupan masyarakat Siang adalah tradisi kultural Gowa, terutama sekali menyangkut hubungan perkawinan antar keluarga raja dan bangsawan Gowa. Penguasa Siang punya hubungan kekeluargaan dengan keluarga kerajaan Luwu, Soppeng, Tanete, dan Bone karena pihak keluarga Kerajaan Gowa juga mengadakan hubungan perkawinan (kawin-mawin) antar keluarga Kerajaan Luwu. Kemudian Luwu kawin-mawin dengan Soppeng, Soppeng kawin-mawin dengan Tanete dan Tanete kawin-mawin dengan Bone.
Ringkasnya, keturunan produk sistem kawin - mawin itu telah
menjalin hubungan kekerabatan semakin luas. Siang dan beberapa unit teritori
politik seperti Barasa (Pangkajene), Lombasang (Labakkang), Segeri, Ma'rang dan
Segeri juga mengadakan kawin mawin antar keluarga kerajaan. Barasa berafiliasi
Gowa, Bone dan Soppeng. Demikian pula Ma'rang dan Segeri. Sedang Labakkang
dengan Gowa, walaupun pada awalnya Labakkang merupakan keturunan raja – raja
Luwu, Soppeng dan Tanete. Tradisi kawin-mawin inilah yang menyebabkan
masyarakat Pangkep telah menyatukan darah orang Bugis Makassar dalam wujud
keturunan, bahasa, tradisi dan adat – istiadat.
Silsilah raja – raja Siang setelah tampuk pemerintahan Siang
dipegang Karaengta Allu adalah sebagai berikut : (1)
Karaeng Allu ; (2) Johor atau Johoro' (Mappasoro) Matinroe' ri Ponrok, yang
bersama Arung Palakka ke Pariaman pada abad ke-17 ; (3) Patolla Dg Malliongi ;
(4) Pasempa Dg Paraga ; (5) Mangaweang Dg Sisurung ; (6) Pacandak Dg Sirua
(Karaeng Bonto – Bonto) ; (7) Palambe Dg Pabali (Karaeng Tallanga) , sezaman dengan datangnya Belanda di Pangkajene ; (8)
Karaeng Kaluarrang dari Labakkang ; (9) Ince Wangkang dari Malaka ; (10) Solle
Dg Malleja ; (11) Andi Pappe Dg Massikki, berasal dari Soppeng ; (12) Andi Papa
Dg Masalle ; (13) Andi Jayalangkara Dg Sitaba ; (14) Andi Mauraga Dg
Malliungang ; (15) Andi Burhanuddin ; (16) Andi Muri Dg Lulu.
Setiap ada upacara perayaan seperti pengangkatan raja baru,
pergantian raja atau upacara kebesaran lainnya yang berhubungan dengan raja,
maka diwajibkan hadir Anrong Appaka
ri Siang, yaitu : (1) Daeng ri
Sengkaya ; (2) Lo'moka ri Kajuara ; (3) Gallaranga ri Lesang ; (4) Gallaranga ri Baru-baru. Setelah empat orang bate-bate'a ini hadir, barulah pelantikan atau
acara ‘Kalompoanga ri Siang' dapat dianggap sah. Selain
keempat bate-bate'a ini juga diharapkan hadirOppoka ri Pacce'lang.
Secara sederhana, silsilah Raja – raja Siang saat dibawah dominasi
Gowa ( A.Razak Dg Mile, PR : 1957 ) sebagai berikut : (a) Raja – raja dari keturunan ‘Tumanurunga
ri Bontang' diperistri oleh yang bergelar ‘Si Tujuh
Lengan'. Tidak diketahui berapa generasi ! (b) Keturunan Karaengta
Allu (Setelah Siang ditaklukkan oleh kerajaan Gowa), juga tidak
diketahui berapa generasi. (c) Keturunan I Johor atau Johoro' (Mappasoro') , sahabat Arung Palakka, dimana Arung Palakka menjadi Raja Bone
sejak tahun 1672. (d) Raja – raja yang berasal dari Kerajaan Siang sendiri,
mulai dari keturunan Pattola Dg Malliongi (di masa kompeni Belanda).
Hasil penelitian arkeologi Balai Arkeologi Makassar dan UNHAS
menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Siang terletak pada sebuah lokasi yang
dikelilingi oleh benteng kota (batanna
kotayya) . Bentengnya mengelilingi lahan yang sekarang
menjadi kompleks kuburan yang dikeramatkan. Alur benteng Siang (batanna
kotayya) diperkirakan berbentuk huruf U, kedua ujungnya
bermuara di Sungai Siang yang telah mati. (Fadhillah dan Irfan Mahmud, 2000 :
27). Indikasi arkeologis pada lokasi situs berupa gejala perubahan rupa bumi
dan proses pengendapan telah menjauhkan pusat Kerajaan Siang dari pesisir.
Kemunduran Siang, yang diperkirakan terjadi pada akhir abad XVI.
Kemenangan Gowa-Labakkang atas Barasa memberikan hak kerabat raja
Gowa menduduki tahta Barasa, gelar sesudah matinya : Karaeng Matinroe ri
Kammasi yang diganti oleh Karaeng Allu. Yang terakhir ini mengalihkan pusat
politiknya kembali ke Siang, dan seolah menghidupkan kembali kebesaran Siang
dengan memakai gelar Karaeng Siang, juga membentuk dewan adat Anrong Appaka
(empat bangsawan kepala) : Kare
Kajuara , Kare Sengkae, Kare Lesang danKare Baru-baru . Masing-masing kare mengepalai pusat kecil kekuasaan dan membentuk konfederasi dibawah
otoritas Siang baru (periode Islam). Karaeng Allu juga yang menempatkan Kalompoang atau Arajang Siang dibawah pemeliharaan Oppoka
ri Paccelang.
Temuan – temuan fragmen keramik hasil ekskavasi situs Siang di
SengkaE, Bori Appaka, Bungoro berupa Piring dan Mangkuk Ching BW, Cepuk Cing,
Mangkuk Swatow BW, Mangkuk Wangli BW, Mangkuk Ming BW, Piring Ming Putih,
Piring Swatow, yang berasal dari Abad XVII-XVIII. Juga ada fragmen keramik dari
Abad XVI seperti Vas Swankalok, Mangkuk Ming BW, Piring Ming BW, Piring dan
Tempayan Vietnam. Jumlah keseluruhan temuan sebanyak 38 fragmen keramik.
Keramik Asing dinasti Ching memberi kronologi relatif lapisan budaya Siang
menyampaikan periode relatif berlangsunnya lapisan budaya negeri Siang, yang
sekurang-kurang berasal dari Abad XVII-XVIII (M Ali Fadhillah dkk, 2000 : 72).
B. Revolusi Fisik
Di Sulawesi Selatan, Muncul gerakan perlawanan rakyat
mempertahankan kemerdekaan. Gerakan itu kemudian menyebar ke berbagai
daerah-daerah seperti Gowa, Maros, Pangkep, Pare-Pare, Sidrap, Bulukumba,
Jeneponto, serta daerah – daerah lainnya. Pangkep sebagai bagian dari wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) turut ambil bagian dari upaya
mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikan Soekarno - Hatta di Jakarta
pada 17 Agustus 1945.
Pangkep ditetapkan sebagai bagian dari wilayah RI sejak awal
September 1945, yang diumumkan oleh Andi Burhanuddin. Semua pemerintah kerajaan
lokal, yang juga sebagai kepala pemerintahan onderdistrict , memberi dukungan. Dukungan yang agak kuat berasal dari Andi
Mandacingi (Karaeng Mandalle), Andi Page (Karaeng Segeri), dan Andi Makin
(Karaeng Ma'rang). Bahkan mereka bertiga menghadap langsung Gubernur Sulawesi,
Dr GSSJ Ratulangi di Makassar. Dukungan lainnya berasal dari Bungoro, Balocci,
Labakkang dan Pulau.
Awal September 1945, Andi Burhanuddin membentuk Barisan Pemuda
Merah Putih (disingkat Barisan PMP). Badan perjuangan yang mula terbentuk itu
dipimpin oleh Zainuddin Condeng dan Abdul Latif dengan para anggotanya berasal
dari bekas Heiho, Boei Taisin Tai dan Seinendan. Ada pula yang pernah dilatih
oleh Pemerintah Belanda menjelang kedatangan Jepang, yakni Barisan Staatswatch . Pemuda militan ditampung
dalam Barisan PMP, sehingga kekuatan perjuangan bisa terkoordinasi.
Konsolidasi Barisan PMP, kemudian dipusatkan di Mandalle. Di
tempat itu, Andi Mandacingi berusaha memperkuat badan perjuangan, dengan
pembinaan pemuda-pemuda. Ia dibantu oleh semua pimpinan PMP, Zainuddin Condeng
dkk. Para kepala kampung dalam Distrik Mandalle diberi penjelasan tentang
kemerdekaan dan usaha mempertahankannya. Pemuka masyarakat berpengaruh, menjadi
sasaran utama, agar tidak menjadi sasaran bujukan NICA. Akhir September 1945,
NICA memulai aksinya, antara lain membujuk tokoh masyarakat dan bangsawan
lokal. Demikian, maka Andi Mandacingi menemui Mamma Daeng Mangimbangi,
sepupunya sendiri. Biasanya NICA senang mengadu domba diantara bangsawan lokal
yang masih dekat hubungan kekerabatannya. Melalui ucapan dalam bahasa Bugis,
Mamma memberikan tanda dukungan, sebagai berikut : “paonanni lopi utonang, narekko titti-i, titti'na
utonangi, narekko lumpangi, lumpanna utonangi” .
Pada 20 September 1945, kepala kampung, imam, pemuka masyarakat,
dan pemuda pejuang mengucapkan ikrar kesetiaan, bertempat di kediaman raja
(Saoraja) Mandalle. Peresmian Barisan Pemuda Merah Putih oleh Andi Mandacingi
sekaligus menyatakan bahwa wilayah adatgemenschaap Mandalle adalah bagian dari RI. Malamnya, susunan Barisan PMP
disahkan dan dipilih sebagai Pimpinan Umum, Zainuddin Condeng dengan Kepala
Pasukan Abdul Lathief dan Mamma Dg Mangimbangi, Sementara Kepala Kelompok M
Jamil, M Tahir Dg Liong dan Lakaterru Baco Pararang. Kepala Pemerintahan
Mandalle merupakan Penguasa Hukum dan Pertahanan/Keamanan Wilayah. Sejak itu,
Mandalle menjadi pusat kekuatan pejuang kemerdekaan di daerah Pangkep. Wilayah
gerak meliputi daerah Segeri dan Ma'rang.
Di Segeri, dibentuk Barisan PMP, cabang Mandalle. Pada 5 Oktober
1946, terpilih sebagai Kepala Pasukan adalah Hadele dengan Kepala Kelompok
yaitu Supu Dg Pasanrang, Sudding, La Magga, dan Beddu Lai. Setiap gerakan
termasuk pembinaan kesatuan, dalam hal yang memungkinkan selalu terjalin
kerjasama dengan pimpinan di Mandalle. Koordinasi dengan pemuda Ma'rang
menghasilkan susunan pengurus Barisan PMP dengan Kepala Pasukan Abdul Lathief
dan para Kepala kelompok Parellu, Baso Dg Magading, Patahuddin, M Badwi.
Wilayah gerak Barisan PMP Ma'rang, meliputi pula wilayah Kota
Pangkajene yang dipimpin oleh M Badwi, karena pada saat itu NICA sudah
menguasai Pangkajene dan sudah menanamkan pengaruhnya. Perkembangan organisasi
perjuangan, menyebabkan diadakan susunan pengurus khusus Mandalle dengan Kepala
Pasukan Mamma Daeng Mangimbangi dengan Para Kepala Kelompok : M Tahir Dg Liong,
La Katerru Baco Pararang, Sabe Sanre, dan La Upe Dg Ngalle.
Pembentukan kepala pasukan di tiga tempat itu, lebih memperkokoh
kekuatan pejuang. Yang menjadi hambatan, sisa masalah senjata. Orang-orang
Jepang sejak bulan September sudah berkumpul di Kota Makassar. Maka, untuk
dipergunakan dalam latihan, pemuda memakai tombak dan bambu runcing. Sementara
Andi Mandacingi dan Zainuddin Condeng mengusahakan pengadaan senjata. Seperti
di tempat lain, yang menjadi pelatih, mereka yang berasal dari Heiho, Boei
Teisin Tai, dibantu Seinendan. Juga dijalin kerjasama dengan laskar GPT
(Gerakan Pemuda Tanete) pimpinan Andi Abdul Muis Datu Lolo. Usaha pengadaan
senjata dilakukan melalui berbagai cara. Ke Kalimantan dibawa beras untuk
ditukarkan dengan senjata. Dari pulau seberang Selat Makassar itu, diperoleh
berita ada orang-orang yang menyimpan senjata. Tentara sekutu yang ingin
kembali, bersedia menyerahkan senjatanya, dengan tukaran makanan, terutama
ayam. Juga orang Jepang yang melepaskan diri dari kesatuannya, mau menukar
senjatanya dengan beras.
Ketika itu, terkenal istilah “sikokang” , artinya tukar menukar barang. M Amin Sajo ditugaskan pula
mencari senjata di Makassar. Ia kebetulan mengikuti kursus kader PNI pimpinan
Mr Tajuddin Noer, pada November 1945. Ke Kalimantan ditugaskan La Ribi dan
kawan – kawan yang berhasil membawa kembali satu peti berisi 24 biji granat
tangan dan 40 pasang pakaian dinas militer (seragam). Sambil mencari senjata,
Zainuddin Condeng bersama Ishak Lubis, atas perintah Andi Mandacingi, berangkat
ke Makassar. Tugas lainnya ialah menemui para pemimpin pemuda. Akan tetapi, para
pemuda di Makassar pun kekurangan senjata. Mereka gagal memperoleh senjata dari
Jepang, hanya karena terdapat perbedaan paham antara pemuda militan dengan
kelompok Dr Ratulangi yang menekankan perjuangan diplomasi.
Di Balocci, wilayah pinggiran gunung batu sekitar Tonasa, dibentuk
pula PPNI pada November 1945, dengan pimpinan H Abdul Hamid, Muhammad Hasyim,
Abdul Muthalib, Ballacco Dg Parumpa dan Abdul Gani, bermarkas di Matojeng,
(Sarita Pawiloy, 1987 : 158 – 163). Konsolidasi markas dipusatkan di Mandalle,
pemukiman penduduk di sekitar bukit sebelah timur poros jalan raya utama.
Laskar pejuang pada umumnya hanya memegang senjata tajam dan beberapa buah
granat tangan. Dapat dibayangkan sulitnya perlawanan terhadap musuh yang
bersenjata lengkap. Keadaan itu berlangsung hingga Juli 1946.
Di Pangkep, wadah kelaskaran cukup rapi, dan mempunyai cukup
banyak anggota. Wadah yang terakhir dibentuk ialah KRIS Muda (28 Juli 1946),
yang bermarkas di Coppotompong. Pimpinan dipegang oleh M Dahlan dan Zainuddin
Condeng. Dalam struktur kesatuan militer, kekuatan KRIS Muda ialah satu
batalion, namun hanya tenaga manusia dengan persenjataan yang terlalu kurang.
Selain perlawanan bentuk sabotase, penerangan tentang kemerdekaan dan
pemasangan pamflet ; adanya laskar membantu perembesan operasi laskar yang
lebih kuat di daerah Pangkep.
Pada September 1946, laskar Harimau Indonesia (HI) datang ke
wilayah Pangkep bagian pegunungan dan mendirikan markas di Bulu Langi. Pejuang
di Mandalle, yang tergabung dalam KRIS Muda menyambut hangat laskar HI di
daerahnya. Daya tarik HI ialah kelengkapan senjata mereka. Dalam bulan
September 1946, seorang pejuang dari Enrekang ingin bergabung yaitu Andi Sose.
Ia diterima oleh Muhammad Syah, pimpinan HI, akan tetapi diminta agar kembali
ke daerah asalnya dan membentuk laskar HI disana.
Kontak senjata pasukan gabungan HI / KRIS Muda melawan KNIL
meletus di Kampung Pettung. Seorang laskar pejuang gugur, bernama La Mappa
(dalam bulan Oktober 1946). Dalam Nopember 1946, laskar pimpinan Mamma bertahan
mati-matian atas serangan KNIL. Mamma sendiri gugur dalam pertempuran itu.
Pasukan HI yang selalu mobiele dalam operasinya, sulit dijebak oleh musuh. Januari 1946, Pimpinan
HI mengikuti konferensi di Paccekke atas undangan Mayor Andi Mattalatta,
berdasar mandat dari Panglima Jenderal Soedirman. Selama di Mandalle-Pangkep,
Pasukan HI bersama KRIS Muda dan Banteng Indonesia Sulawesi (BIS) melakukan
kontak senjata dengan musuh tak kurang 20 kali dari September 1946 s.d. Maret
1947.
Tak banyak yang tahu bahwa Pulau Kalu-kalukuang, Liukang Kalmas
banyak memberikan andil bagi keberhasilan perjuangan kemerdekaan RI, khususnya
di Sulawesi Selatan. Pulau yang berjarak 185, 82 mil dari ibukota Pangkep itu
di era revolusi fisik, dijadikan basis perjuangan/tempat persinggahan yang aman
dan strategis bagi para pejuang kemerdekaan baik dari Pulau Jawa maupun dari
Sulawesi Selatan sendiri. Sebut saja ekspedisi TRIPS (Tentara Rakyat Indonesia
Persiapan Sulawesi) dibawah pimpinan Mayor Johan Dg Mangung yang bermarkas di
Lawang, Jawa Timur beberapa kali melakukan ekspedisi ke Sulawesi Selatan pada
tahun 1947 dengan menggunakan Perahu Lete' khas buatan orang Pulau
Kalu-kalukuang.
Dari sekian banyak ekspedisi itu, salah satu yang terkenal adalah
ekspedisi dibawah pimpinan Kapten A Hasan Rala (mantan Bupati Maros) dengan
menggunakan Perahu Lete', yang bernama Kapten Pahlawan Laut (Kapten Baru) dari
Pulau Kalu-Kalukuang. Kapal itu milik Hj St Hawa yang diawaki oleh suaminya
sendiri H Bakkar Puang Menda sebagai nakhoda dengan dibantu 6 orang sawi yakni
Baco, Sehe, Tangnga, Kadir, Pudding dan Lanuddin. Ekspedisi ini berjumlah 36
orang pejuang Sul-Sel, diantaranya Lettu AA Rifai dan Letda Achmad Lamo (mantan
Gubernur Sul-Sel).
Ekspedisi ini berangkat pada 28 Januari 1947 dari Bondowoso, singgah
di Pulau Kalu-kalukuang pada 1 Februari 1947. Setelah istirahat beberapa hari,
perjalanan dilanjutkan dan singgah di CempaE, Barru pada 16 Februari 1947.
Sebagai bukti keiikut-sertaan rakyat pulau Kalu-kalukuang (Liukang Kalmas)
dalam sejarah perjuangan kemerdekaan RI, sampai sekarang Perahu Lete' yang
pernah dipakai dalam ekspedisi TRIPS tersebut diabadikan di Museum ALRI,
Surabaya.
Perlawanan di pulau – pulau kecil dilakukan oleh PPNI / ALRI yang
dibentuk oleh Ali Malaka, Abdul Khalik dan Abdul Muthalib dalam bulan Oktober,
diresmikan pada 4 Nopember 1946. Pusat laskar di Pulau Sarappo Lompo. Selain
melakukan perlawanan, anggota PPNBI / ALRI juga mengatur penyerangan para
pejuang Sul-sel ke Jawa dan Kalimantan, meski saat itu persenjataan sangat terbatas.
Awal Maret 1947, satu peleton TRIPS dari Jawa, berangkat dari
Purbalingga, tiba di Daerah Pangkep. Sebagian dari mereka telah mendarat di
pesisir pantai Mandalle, ketika musuh segera datang ketempat pendaratan.
Komposisi pasukan TRIPS tersebut : Danton Letda Yos Effendi, wakilnya Letda
Taeras Daulat. Para komandan regu : Coni, Samaila dan La Combalang. Senjata
yang dibawa hanya 41 pucuk, terdiri dari 1 pucuk mortar 3 inci, 2 pucuk
owengun, 2 pucuk stengun, 2 pucuk pistol colt, dan 34 pucuk senjata karaben.
Bawaan lainnya berupa 50 karung gula pasir dan 20 peti granat tangan.
Suatu tipuan licik KNIL sempat memerdaya pasukan TRIPS. KNIL
mengibarkan bendera merah putih mendekati pantai, dimana pendaratan akan
dilaksanakan. Melihat “kawan” sementara menyambut, Yos Effendi memerintahkan
pletonnya mendarat. Ketika itu juga, serangan KNIL dilancarkan. TRIPS sadar,
bahwa para penyambut ternyata adalah musuh. Kontak senjatapun akhirnya
berlangsung dari pukul 18.00 sampai pukul 22.00. Dua orang pejuang gugur. Berikut
seorang awak perahu tewas. Mereka yang masih berada diatas perahu segera
menghindar dari tempat itu. Kemudian berlayar kembali ke Jawa.
C. Sejarah Pemerintahan Daerah
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangkajene dan Kepulauan belum bersatu dalam satu wilayah pemerintahan. Pangkajene dengan daratannya berstatus Onderafdeeling dengan nama ‘ Onderafdeeling Pangkajene ' dibawah taktis ‘Afdeeling Makassar ' dengan 7 adat gemenschap yaitu : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Segeri, Mandalle dan Balocci. Onder afdeeling Pangkajene waktu itu berada dibawah pengawasan seorang Gezaghebber setingkat Controleur yang berkedudukan di Pangkajene, sedang adat–adat gemenschap dipercayakan kepada karaeng – karaeng.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Pangkajene dan Kepulauan belum bersatu dalam satu wilayah pemerintahan. Pangkajene dengan daratannya berstatus Onderafdeeling dengan nama ‘ Onderafdeeling Pangkajene ' dibawah taktis ‘Afdeeling Makassar ' dengan 7 adat gemenschap yaitu : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Segeri, Mandalle dan Balocci. Onder afdeeling Pangkajene waktu itu berada dibawah pengawasan seorang Gezaghebber setingkat Controleur yang berkedudukan di Pangkajene, sedang adat–adat gemenschap dipercayakan kepada karaeng – karaeng.
Wilayah kepulauan sebagai bagian dari Stadsgemente Makassar,
dikepalai oleh Kepala Distrik Makassar yang wilayah meliputi : Pulau – pulau
‘Spermonde' , terdiri dari 57 pulau, Kalu-kalukuang Group terdiri dari 8 pulau,
Postelion dan Paternoster terdiri dari 52 pulau. Pulau–pulau tersebut disusun berkelompok
disesuaikan jangkauan geografisnya serta diperintah oleh seorang Gallarang ,
yang statusnya sama dengan ‘Kepala Kampung'.
Di masa pemerintahan Jepang (1942 – 1945), Sistem pemerintahan di
Pangkajene tidak berubah, yang berubah hanyalah bahasa. Adat gemeenschap
dinamai “Gun”, dikepalai ‘Guntjo', dikoordinir oleh ‘Guntjo Sodai' dari
Indonesia dibawah taktis Bunken Kanrikan dari Jepang. Sedang pulau tetap dalam
wilayah ‘ Stadsgemente Makassar' dengan penyebutan “Makassar Si”, dikepalai
‘Makassar Sitjo' dan Distrik Makassar disebut “Makassar Gun”, dikepalai
“Makassar Guntjo” .
Dengan Staatsblad 1946 / 17 Daerah – daerah bekas Rechtstreeks
Bestuursgebied termasuk Onderafdeeling Pangkajene dibentuklah swapraja baru (
Neo Zelfsbestuur ), terdiri dari gabungan adat gemenschap . Wilayah kepulauan,
mulai dipisah dari Gemente Makassar dengan Ketua Dewan Hadat Abdul Rahim Dg
Tuppu, mantan Kepala District Makassar dengan anggota hadat : Gallarang Balang
Lompo, Gallarang Barrang lompo, Gallarang Sapuka, Gallarang Salemo, Gallarang
Kalu-kalukuang, dan Gallarang Kodingareng.
UU No. 22 Tahun 1948 yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat RI
tetap bertahan meski Belanda belum mengakui kedaulatan Indonesia. Dengan SK
Mendagri No. Des. 1 / 14 / 4 / 1951, Gubernur diperintahkan mempersiapkan
daerah otonom baru setingkat Daerah Swatantra Tingkat II, disusul PP No. 34 /
1952, jo. PP No. 2 / 1952, dibentuklah DAERAH MAKASSAR yang berkedudukan di
Sungguminasa, Takalar, Jeneponto, Maros, Pangkajene dan Kepulauan sebagai Daerah
Otonom Tingkat II.
Akibat perkembangan kehidupan bernegara, lahir pula UU Darurat No.
2 Tahun 1957, dimana DAERAH MAKASSAR dipecah menjadi Daerah : Gowa, Makassar,
Jeneponto dan Takalar. Kabupaten Makassar membawahi wilayah–wilayah : (1)
Onderafdeeling Pulau – Pulau ; (2) Onderafdeeling Maros ; (3) Onderafdeeling
Pangkajene dengan pimpinan Bupati Kepala Daerah Andi Tjatjo. Usaha simplikasi
pembentukan daerah – daerah dilanjutkan Pemerintah Pusat RI dengan UU No. 29
Tahun 1959, dimana Pangkep menjadi daerah otonom tingkat II, digabung dengan
bekas onderafdeling pulau – pulau, sehingga menjadi Kabupaten Dati II Pangkep
yang membawahi 9 kecamatan, yakni : Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma'rang,
Balocci, Segeri Mandalle, Liukang Tupabbiring, Liukang Kalmas, Liukang Tangaya
dengan Bupati pertama, Mallarangeng Dg Matutu.
Kini, Kabupaten Pangkep tidak lagi terdiri dari 9 kecamatan, tapi
12 wilayah kecamatan. Sebagai bagian dari semangat Otonomi Daerah, maka lewat
Perda No. 13 / 2000 ( Lembaran Daerah No. 18 Tahun 2000) telah dibentuk tiga
kecamatan baru. Wilayah administrasi pemerintahan Pangkep saat ini meliputi
Pangkajene, Balocci, Bungoro, Labakkang, Ma'rang, Segeri, Liukang Tupabiring,
Liukang Kalmas, Liukang Tangaya, Minasate'ne, Mandalle, dan Kecamatan Tondong
Tallasa.
SEKILAS SEJARAH PENETAPAN HARI JADI KAB.PANGKEP
Dasar Pembentukan
Dasar Pembentukan
Sebagaimana catatan otentik yang ada menunjukkan bahwa
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 merupakan dasar hukum pembentukan
daerah-daerah tingkat II di Sulawesi. Salah satu daerah tingkat II tersebut
adalah Kabupaten dati II Pangkajene dan Kepulauan yang sebelum ditetapkannya
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 termasuk dalam bagian daerah Makassar yang
disebut Onderafdeling Pangkajene sebagaimana dimaksud dalam bijblad Nomor 14377
Jls surat Ketetapan Menteri Dalam Negeri Indonesia Timur tanggal, 19 Januari
1950 Nomor UPU 1/1/45 JO Tanggal, 20 Maret 1950 Nomor UPU 1/6/23.
II. Proses Penetapan Hari Jadi Kabupaten Pangkep
Salah satu kebanggaan bagi setiap daerah apabila mengetahui
sejarah dan kelahirannya yang memberikan sesuatu makna dan nilai historis dan
yuridis yang harus senantiasa tetap dijaga dan dipertahankan eksistensinya
sebagai sumber motivasi moral bagi masyarakatnya.
Bertitiktolak dari motivasi tersebut dan berdasarkan atas
kelahiran Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959, maka pemuda-pemuda kitayang
terhimpun dalam wadah organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia kabupaten
Pangkep terdorong untuk mencoba mencari dan menghimpun masukan-masukan pendapat
dari budayawan dan teknokrat dalam suatu Seminar Kelahiran Pangkep yang
berlangsung dari tanggal 26 sampai 27 Maret 1986 dengan menampilkan para nara
sumber antara lain :
· Prof. Dr. A.Zainal Abidin Farid, SH.
· Prof. Dr.Syahruddin Kaseng
· Drs.A.Samad Thahir
· Aminullah Lewa BA dan
· AM.Dg. Masiga
· Prof. Dr. A.Zainal Abidin Farid, SH.
· Prof. Dr.Syahruddin Kaseng
· Drs.A.Samad Thahir
· Aminullah Lewa BA dan
· AM.Dg. Masiga
Seminar tersebut melahirkan alternatif tentang hari Jadi Pangkep
yakni, didasarkan atas tinjauan kesejarahan satu kerajaan tua yang pernah ada
di Pangkep yaitu di kecamatan Bungoro yang dikenal dengan kerajaan “Siang” pada
masa antara abad 16 sampai abad ke 17.
Alternatif lainnya adalah didasarkan pada pertimbangan yuridis
formal yakni dasar hukum pembentukan daerah tingkat II Pangkajene dan
Kepulauan.
Bertolak dari hasil seminar tersebut, pihak pemerintah daerah
dalam hal ini Bupati Kepala Daerah membentuk tim perumus yang bertugas
menghimpun dan merumuskan data-data yang otentik dan akurat yang dapat
dijadikan dasar dalam penetapan hari jadi Kabupaten Pangkep, namun tim perumus
dalam menetapkan Hari Jadi Pangkep atas dasar pertimbangan kesejarahan menemui
kendala, oleh karena data data dan informasi tidak cukup dapat mendukung,
sehingga tim perumus mencoba memanfaatkan data dan informasi dari sudut pertimbangan
yuridis formal yang memberikan dua alternatif yakni, tanggal ditetapkannya
surat keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah UP. 7/2/40-337 tanggal,
28 Januari 1960 tentang pengangkatan Mallarangeng Dg. Matutu sebagai Bupati
Kepala Daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan yakni pada tanggal, 28
Januari 1960 dan pilihan kedua adalah dari serah terima jabatan Mallarangeng
dg. Matutu sebagai Bupati Kepala Daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan.
Dua pilihan inilah yang diajukan oleh tim kepada bapak Bupati kepala daerah untuk menetapkan satu diantaranya untuk dijadikan dasar dalam rancangan Peraturan Daerah yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bahan pembahasan.
Berdasarkan dua pilihan yang diajukan tim tersebut, oleh Bupati Kepala Daerah dalam hal ini Bpk. M.R. Natsir menetapkan serahterima jabatan dari Andi Tjatjo kepada Mallarangeng Dg. Matutu sebagai momentum kelahiran Pangkep untuk disampaikan pada DPRD namun masih ditemukan sedikit permasalahan dengan tidak ditemukannya berita acara pelantikan Mallarangeng Dg. Matutu.
Berkat keterangan Bpk. Mallarengeng Dg. Matutu secara pribadi bahwa pelantikan tersebut seingat beliau dilaksanakan pada hari Senin sebelum tanggal, 10 Februari dan setelah melihat penanggalan tahun 1960, menunjukkan bahwa hari Senin jatuh pada tangal 1 dan tanggal 8 Februari 1960.
Hal inilah yang menjadi pengajuan rancangan peraturan daerah (Perda) kepada DPRD Tingkat II Pangkep.
Berdasarkan data-data diatas, maka pada tanggal, 10 Februari 1992 rancangan perda tentang Hari Jadi Kabupaten daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan dibahas secara bersama-sama oleh pihak eksekutif dan legislatif dalam rapat paripurna tingkat I di gedung DPRD tingkat II Pangkep.
Dalam pembahasan rancangan Perda pihak legislatif cukup berhati-hati dan jeli untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Pangkep, sehingga pembahasannya dilakukan dalam sidang-sidang komisi khusus/gabungan yang menggunakan waktu cukup lama.
Berkat upaya dan kesungguhan semua pihak utamanya pihak eksekutif dan legislatif, pemuka masyarakat dan generasi muda akhirnya berhasil ditemukan salah satu arsip yang sangat menentukan penetapan Hari jadi tersebut, berupa arsip pidato/sambutan bupati kepala daerah pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke 15 pada tanggal 17 Agustus 1960.
Dalam pidato tersebut terdapat kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
“ ………. Sebagaimana kita ketahui pada hari Senin tanggal 8 Februari 1960 pimpinan pemerintahan di daerah ini telah ditimbang terimakan oleh pimpinan lama kepada yang baru.”
Atas dasar data otentik itu, akhirnya dipilih dan disepakati bersama pihak eksekutif dan legislatif untuk menetapkan hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan jatuh pada tanggal 8 Februari 1960 yakni saat pelantikan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pangkep yang pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu secara defacto sebagai pejabat kepala daerah.
Untuk itu, maka pada tanggal 9 Juli 1992 dalam sidang paripurna DPRD ditetapkan rancangan peraturan daerah tentang Perda Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkep yakni peraturan daerah nomor 4 tahun 1962 yang menetapkan tanggal, 8 Februari sebagai Hari jadi kabupaten Pangkep.
Sebagai proses lanjut atas penetapan Perda tersebut, agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka pada tanggal 24 Juli 1962 diajukan pengusulan pengesahannya kepada Gubernur kepala Daerah Tingkat I Sulsel sebagai pejabat yang mengesahkan.
Setelah melalui pemeriksaan secara teliti dan mendalam pada Biro Hukum Setwilda tingkat I dan melakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya, akhirnya disetujui pengesahan Perda ini dengan surat keputuan Gubernur Tingkat I Sulsel No.100/8/92 tanggal 28 Agustus 1992 dan dicantumkan dalam lembaran daerah kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan nomor 7 tahun 1962 seri D Nomor 4.
Dengan lahirnya perda tentang hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkep, maka hal ini menunjukkan tuntutan tanggungjawab kepada seluruh warga masyarakat kabupaten pangkep untuk menjaga dan melestarikan jatidiri daerahnya sebagai suatu yang tidak ternilai dan menjadikannya sebagai suatu kekuatan baru dalam memotivasi diri dalam mempertahankan keseinambungan didaerah ini.
Dua pilihan inilah yang diajukan oleh tim kepada bapak Bupati kepala daerah untuk menetapkan satu diantaranya untuk dijadikan dasar dalam rancangan Peraturan Daerah yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagai bahan pembahasan.
Berdasarkan dua pilihan yang diajukan tim tersebut, oleh Bupati Kepala Daerah dalam hal ini Bpk. M.R. Natsir menetapkan serahterima jabatan dari Andi Tjatjo kepada Mallarangeng Dg. Matutu sebagai momentum kelahiran Pangkep untuk disampaikan pada DPRD namun masih ditemukan sedikit permasalahan dengan tidak ditemukannya berita acara pelantikan Mallarangeng Dg. Matutu.
Berkat keterangan Bpk. Mallarengeng Dg. Matutu secara pribadi bahwa pelantikan tersebut seingat beliau dilaksanakan pada hari Senin sebelum tanggal, 10 Februari dan setelah melihat penanggalan tahun 1960, menunjukkan bahwa hari Senin jatuh pada tangal 1 dan tanggal 8 Februari 1960.
Hal inilah yang menjadi pengajuan rancangan peraturan daerah (Perda) kepada DPRD Tingkat II Pangkep.
Berdasarkan data-data diatas, maka pada tanggal, 10 Februari 1992 rancangan perda tentang Hari Jadi Kabupaten daerah Tingkat II Pangkajene dan Kepulauan dibahas secara bersama-sama oleh pihak eksekutif dan legislatif dalam rapat paripurna tingkat I di gedung DPRD tingkat II Pangkep.
Dalam pembahasan rancangan Perda pihak legislatif cukup berhati-hati dan jeli untuk menetapkan hari jadi Kabupaten Pangkep, sehingga pembahasannya dilakukan dalam sidang-sidang komisi khusus/gabungan yang menggunakan waktu cukup lama.
Berkat upaya dan kesungguhan semua pihak utamanya pihak eksekutif dan legislatif, pemuka masyarakat dan generasi muda akhirnya berhasil ditemukan salah satu arsip yang sangat menentukan penetapan Hari jadi tersebut, berupa arsip pidato/sambutan bupati kepala daerah pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu pada peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke 15 pada tanggal 17 Agustus 1960.
Dalam pidato tersebut terdapat kalimat yang berbunyi sebagai berikut :
“ ………. Sebagaimana kita ketahui pada hari Senin tanggal 8 Februari 1960 pimpinan pemerintahan di daerah ini telah ditimbang terimakan oleh pimpinan lama kepada yang baru.”
Atas dasar data otentik itu, akhirnya dipilih dan disepakati bersama pihak eksekutif dan legislatif untuk menetapkan hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan jatuh pada tanggal 8 Februari 1960 yakni saat pelantikan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Pangkep yang pertama yaitu Bpk. Mallarangeng Dg. Matutu secara defacto sebagai pejabat kepala daerah.
Untuk itu, maka pada tanggal 9 Juli 1992 dalam sidang paripurna DPRD ditetapkan rancangan peraturan daerah tentang Perda Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Pangkep yakni peraturan daerah nomor 4 tahun 1962 yang menetapkan tanggal, 8 Februari sebagai Hari jadi kabupaten Pangkep.
Sebagai proses lanjut atas penetapan Perda tersebut, agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat maka pada tanggal 24 Juli 1962 diajukan pengusulan pengesahannya kepada Gubernur kepala Daerah Tingkat I Sulsel sebagai pejabat yang mengesahkan.
Setelah melalui pemeriksaan secara teliti dan mendalam pada Biro Hukum Setwilda tingkat I dan melakukan penyempurnaan sebagaimana mestinya, akhirnya disetujui pengesahan Perda ini dengan surat keputuan Gubernur Tingkat I Sulsel No.100/8/92 tanggal 28 Agustus 1992 dan dicantumkan dalam lembaran daerah kabupaten daerah tingkat II Pangkajene dan Kepulauan nomor 7 tahun 1962 seri D Nomor 4.
Dengan lahirnya perda tentang hari jadi kabupaten daerah tingkat II Pangkep, maka hal ini menunjukkan tuntutan tanggungjawab kepada seluruh warga masyarakat kabupaten pangkep untuk menjaga dan melestarikan jatidiri daerahnya sebagai suatu yang tidak ternilai dan menjadikannya sebagai suatu kekuatan baru dalam memotivasi diri dalam mempertahankan keseinambungan didaerah ini.
A. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN PANGKAJENE KEPULAUAN (PANGKEP)
1.BENTUK
·
Perisai yang melambangkan
kepercayaan atas diri sendiri, ketahanan, keamanan, dan kesentosaan. Pada
Bagian atas perisai, di atas warna putih, bertuliskan nama kabupaten, "
PANGKEJENE DAN KEPULAUAN
2. ISI
·
Pada bagian yang teratas adalah
bintang bersegi lima sebagai perlambang pancasila, falsafah negara dan bangsa
Indonesia.Sementara segi atau sudut yang menonjol ke atas adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa merupakan pembimbing poros dan pembimbing dari sila-sila yang lain.
Garis-garis yang ada dalam tubuh perisai bersumber dan berpusat kepada bintang,
perlambang bahwa seluruh kepercayaan dan kegiatan bersumber dari falsafah
Pancasila yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
·
Pada bagian tengah itu ialah
PERAHU LAYAR,merupakan perlambang daripada Daerah Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan yang mempunyai wilayah kepulauan di bagian lautan.Perahu layar dengan
tipe dan modelnya yag khas itu adalah lambang perhubungan dan tranportasi
rakyat di kepulauan pangkep.
·
Pada bagian atas kiri PERAHU
tersebut,melingkar dalam bentuk oval, PADI dan KAPAS, dimana kedua ujungnya
bergantung pada bintang,merupakan lambang kemakmuran rakyat yang merupakan
cita-cita perjuangan Bangsa Indonesia.Pada bagian bawah tangkai pasi dan kapas,
bertemu keduanya yang berarti sandang dan pangan tak dapat dipisahkan, sedangkan
pada bagian atasnya, kedua ujungnya bergantung kepada bintang Pancasila yang
Berketuhanan Yang Maha Esa.Padi dan kapas melingkar berbentuk bulat
lonjong(oval) melambangkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia dari Sabang
sampai Merauke,yang di dalamnya pula terdapat rakyat Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan.
·
Pada bagian bawah, yang
merupakan landasan padi dan kapas ialah sebuah pita merah yang di atasnya
terdapat tulisan lontara (Bahasa Makassar)"KUALLEANGI TALLANGA NA
TOWALIA", yang bermakna (arti letterlyknya) " Lebih Baik Tenggelam
Dari Pada Surut Kembali " merupakan semboyan yang sesuai dengan watak
rakyat pangkep,maknakeselamatan , Pantang Mundur", Tulisan lontara itu sendiri perlambang suku : Bugis
Makassar, suku yang mendiami sebagian besar wilayah pangkep.
3 . WARNA
·
Warna putih berarti suci,ikhlas
dan jujur
· Warna merah berarti berani,
melambangkan bagian daratan pangkepyang masyarakatnya mempunyai watak yang
berani, keras, kemauan keras dan pantang mundur. Hal ini sesuai dengan alam
pangkep yang merupakan tantangan keras, seperti gunung-gunung nya yang terdiri
dari gunung batu (Merupakan kekayaan sebagai bahan semen), air sukat,adat dan
rasa malu yang mendalam dan lain sebagainya.
·
Warna dasar perisai bagian
bawah ialah biru laut, perlambang bahwa hanya pangkajene dan kepulauan
terdiri dari pulau-pulau yang bertebaran di laut yang luas. Oleh karena
itu, terdapat garis-garis putih yang bergelombang sebagai lambang air.
·
Warna biru laut berarti tabah,
lapang dada, penuh keberanian mengarungi samudera luas, ramah tamah dan makmur.
·
Warna kuning pada bintang dan
batang padi,berarti agung,terhormat,jaya,mulia dan berwibawa.
·
Warna hijau pada kapas, berarti
subur, makmur, nikmat dan damai.
·
Warna hitam pada
perahu dan lain-lain berarti cita-cita yang sangat mendalam.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
3. KABUPATEN
SINJAI
A. SEJARAH
KABUPATEN SINJAI
Berdasarkan UU. No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah
Daerah Tingkat II di Sulawesi (LN Tahun 1959 Nomor 74 TLN Nomor 1823), dan
Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah No. UP.712/44 tanggal
28 Januari 1960 Sinjai diresmikan menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Sinjai
sebagai Daerah Otonom yang ditandai dengan pelantikan Bupati Pertama ABDUL
LATIEF (Mayor Purnawirawan TNI/AD) yang dilantik pada tanggal 1 Pebruari 1960.
Kabupaten Sinjai adalah Daerah Otonom yang terdiri dan membawahi enam buah distrik masing masing:
1. Distrik Bulo Bulo Timur
2. Distrik Lamatti
3. Distrik Tondong
4. Distrik Bulo Bulo Barat
5. Distrik Manimpahoi
6. Distrik Manipi
Keenam Distrik tersebut masing masing dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Dari enam buah distrik yang telah ada kemudian berdasarkan SK Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara pada tanggal 19 Desember 1961 No. 1100 tentang Pembentukan Kecamatan di Daerah Swatantra Tk II Sinjai yang dilebur menjadi lima Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Sinjai Utara
2. Kecamatan Sinjai Timur
3. Kecamatan Sinjai Tengah
4. Kecamatan Sinjai Barat
5. Kecamatan Sinjai Selatan
Kemudian ditambah dua buah persiapan Kecamatan yaitu:
1. Perwakilan Kecamatan Sinjai Utara
2. Perwakilan Kecamatan Sinjai Barat
Selanjutnya dengan SK DPRD GR Daerah Tingkat II Sinjai No. 16 Tahun 1961 YO Surat Keputusan BKDH TK. II Sinjai tanggal 27 Maret 1962 Nomor 5/KDS/1962 tentang Rencana Pembangunan Masyarakat Desa di Sinjai membagi 73 wilayah Kampung Komplexin yang telah ada 39 Style Baru.
Dengan keluarnya SK Gubernur Sul Sel No. 450/111/1965 tentang Pedoman Pembentukan Desa Gaya Baru di Sul Sel, dimana berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1979, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1980 tentang Pedoman Pembentukan, Pemecahan dan Penghapusan Kelurahan, serta Peraturan Mendagri No. 4 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Begitu pula dengan Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1992 dimana dua buah perwakilan Kecamatan yang dibentuk pada tahun 1975 berubah status menjadi Kecamatan Defenitif.
Dimana berdasarkan Peraturan tersebut diatas maka Kabupaten Daerah Tingkat II Sinjai pada saat ini terdiri 7 buah Kecamatan, 54 Desa dan 14 Kelurahan. Dan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan Nomor 5381VI/1996 maka di Kabupaten Sinjai terbentuk satu Perwakilan Kecamatan, yaitu Perwakilan Kecamatan Tellu Limpoe.
Kabupaten Sinjai adalah Daerah Otonom yang terdiri dan membawahi enam buah distrik masing masing:
1. Distrik Bulo Bulo Timur
2. Distrik Lamatti
3. Distrik Tondong
4. Distrik Bulo Bulo Barat
5. Distrik Manimpahoi
6. Distrik Manipi
Keenam Distrik tersebut masing masing dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Dari enam buah distrik yang telah ada kemudian berdasarkan SK Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara pada tanggal 19 Desember 1961 No. 1100 tentang Pembentukan Kecamatan di Daerah Swatantra Tk II Sinjai yang dilebur menjadi lima Kecamatan yaitu:
1. Kecamatan Sinjai Utara
2. Kecamatan Sinjai Timur
3. Kecamatan Sinjai Tengah
4. Kecamatan Sinjai Barat
5. Kecamatan Sinjai Selatan
Kemudian ditambah dua buah persiapan Kecamatan yaitu:
1. Perwakilan Kecamatan Sinjai Utara
2. Perwakilan Kecamatan Sinjai Barat
Selanjutnya dengan SK DPRD GR Daerah Tingkat II Sinjai No. 16 Tahun 1961 YO Surat Keputusan BKDH TK. II Sinjai tanggal 27 Maret 1962 Nomor 5/KDS/1962 tentang Rencana Pembangunan Masyarakat Desa di Sinjai membagi 73 wilayah Kampung Komplexin yang telah ada 39 Style Baru.
Dengan keluarnya SK Gubernur Sul Sel No. 450/111/1965 tentang Pedoman Pembentukan Desa Gaya Baru di Sul Sel, dimana berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1979, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1980 tentang Pedoman Pembentukan, Pemecahan dan Penghapusan Kelurahan, serta Peraturan Mendagri No. 4 Tahun 1981 tentang Pembentukan, Pemecahan, Penyatuan dan Penghapusan Desa. Begitu pula dengan Keluarnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1992 dimana dua buah perwakilan Kecamatan yang dibentuk pada tahun 1975 berubah status menjadi Kecamatan Defenitif.
Dimana berdasarkan Peraturan tersebut diatas maka Kabupaten Daerah Tingkat II Sinjai pada saat ini terdiri 7 buah Kecamatan, 54 Desa dan 14 Kelurahan. Dan berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat 1 Sulawesi Selatan Nomor 5381VI/1996 maka di Kabupaten Sinjai terbentuk satu Perwakilan Kecamatan, yaitu Perwakilan Kecamatan Tellu Limpoe.
B. ARTI
DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN SINJAI
LOGO
Lambang
Daerah Kabupaten Sinjai ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Sinjai
Nomor 6/PERDA/DPRD-1974 tentang Lambang Daerah berupa perisai bulat panjang
dengan ukuran perbandingan tinggi dan lebar adalah 3 : 2, Makna yang terkandung
dalam lambang daerah secara umum dapat dideskripsikan sebagai berikut:
- Kuda berwarna putih : Gambar ini dilatarbelakangi kondisi masa lalu dimana masyarakat Sinjai sebagian besar menggunakan Kuda sebagai hewan yang paling dominan membantu aktivitas keseharian masyarakat dan bahkan menjadi “kendaraan resmi raja-raja” yang kadang juga digunakan sebagai kendaraan perang. Selain itu kuda, juga melambangkan keperkasaan, ketekunan dan semangat kerja keras yang dimiliki masyarakat Sinjai. Sementara warna putih melambangkan bahwa dalam keperkasaan terkandung makna kesucian dan kejernihan itikad dan motivasi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan kehidupan kemasyarakatan.
- Perahu berwarna kuning : selain sebagai alat transportasi utama di perairan Sinjai dikala itu, maka gambaran perahu ini pula masyarakat Sinjai dalam mengarungi perjalanan sejarah yang panjang yang tentunya akan melalui berbagai riak-riak ombak sebagai gambaran tantangan yang akan dihadapi masyarakat dalam mewujudkan harapan Sinjai yang sejahtera.
- Perisai bulat panjang dengan warna hijau; Perisai menunjukkan sebagai benteng diri atau kelompok yang dapat divisualisasikan sebagai kuatnya komitmen kelompok untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruh negatif dari perkembangan budaya.
- Sementara warna hijau : melambangkan kesuburan bumi dengan segala potensinya, tempat masyarakat Sinjai menggantungkan harapan-harapan hidupnya.
- Simpul Pita pada leher kuda merupakan repsentasi 5 (lima) kecamatan (pada awal pembentukan) yang berada dalam sebuah bingkai ikatan kesatuan Kabupaten Sinjai.
- Pasak dengan warna putih menggambarkan ikatan kesatuan masyarakat di 38 (tiga puluh delapan) desa se-Kabupaten Sinjai ketika Sinjai resmi dibentuk menjadi sebuah Kabupaten Daerah Tingkat II. Hal ini juga melambangkan kerelaan masyarakat untuk mengikatkan diri dalam sebuah simpul kesatuan daerah.
- Bingkai berwarna hitam melambangkan kebulatan tekad masyarakat Sinjai.
- Tulisan SINJAI berwarna putih melambangkan kesucian dan keteguhan dalam perdamaian
- Warna dasar kuning melambangkan keagungan nama Sinjai sebagai daerah yang dikenal dengan nama yang harum sebagai Daerah Kabupaten.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
4. KABUPATEN
SELAYAR
A. SEJARAH
KABUPATEN SELAYAR
Pada masa lalu, Kabupaten Kepulauan Selayar pernah menjadi rute
dagang menuju pusat rempah-rempah di Moluccan ( mlauku ). Di Pulau Selayar,
para pedagang singgah untuk mengisi perbekalan sambil menunggu musim yang baik
untuk berlayar. Dari aktivitas pelayaran ini pula muncul nama Selayar. Nama selyara berasal dari kata cedaya (bahasa sansekerta ) yang berarti satu layar, karena konon
banyak perahu satu layar yang singgah di pulau ini. Kata cedaya telah diabadikan namanya dalam Kitab
Negarakertagama karangan Empu Prapanca pada abad 14. Ditulis bahwa pada
pertengahan abad 14, ketika majapahit dipimpin
oleh Hayam Wuruk yang bergelar
Rajasanegara, Selayar digolongkan dalam Nusantara, yaitu pulau-pulau lain di
luar Jawa yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Ini berarti bahwa armada
Gadjah Mada atau Laksamana Nala
pernah singgah di pulau ini.
Selain nama Selayar, pulau ini dinamakan pula dengan nama Tana Doang yang berarti tanah tempat berdoa. Di masa lalu, P.Selayare menjadi tempat berdoa bagi para pelaut yang hendak melanjutkan perjalanan baik ke barat maupun ke timur untuk keselamatan pelayaran mereka. Dalam kitab hukum pelayaran dan perdagangan Amanna Gappa (Abad 17), Selayar disebut sebagai salah satu daerah tujuan niaga karena letaknya yang strategis sebagai tempat transit baik untuk pelayaran menuju ke timur dan ke barat. Disebutkan dalam naskah itu bahwa bagi orang yang berlayar dari Makassar ke Selayar, Malaka, dan Johor, sewanya 6 rial dari tiap seratus orang.
Belanda mulai memerintah Selayar pada tahun 1739. Selayar ditetapkan sebagai sebuah keresidenan dimana residen pertamanya adalah W. Coutsier (menjabat dari 1739-1743). Berturut-turut kemudian Selayar diperintah oleh orang Belanda sebanyak 87 residen atau yang setara dengan residen seperti Asisten Resident, Gesagherbber, WD Resident, atau Controleur. Barulah Kepala pemerintahan ke 88 dijabat oleh orang Selayar, yakni Moehammad Oepoe Patta Boendoe. Saat itu telah masuk penjajahan Jepang sehingga jabatan residen telah berganti menjadi Guntjo Sodai, pada tahun 1942. Di zaman Kolonial Belanda, jabatan pemerintahan di bawah keresidenan adalah Reganschappen. Reganschappen saat itu adalah wilayah setingkat kecamatan yang dikepalai oleh pribumi bergelar "Opu". Dan kalau memang demikian, maka setidak-tidaknya ada sepuluh Reganschappen di Selayar kala itu, antara lain: Reganschappen Gantarang, Reganschappen Tanete, Reganschappen Buki, Reganschappen Laiyolo, Reganschappen Barang-Barang dan Reganschappen Bontobangun. Di bawah Regaschappen ada kepala pemerintahan dengan gelar Opu Lolo, Balegau dan Gallarang. Pada tanggal 29 Nov 1945 (19 Hari setelahIniden Hotel Yamato di Surabaya) pukul 06.45 sekumpulan pemuda dari beberapa kelompok dengan jumlah sekitar 200 orang yang dipimpin oleh seorang pemuda bekas Heiho bernama Rauf Rahman memasuki kantor polisi kolonial (sekarang kantor PD. Berdikari). Para pemuda ini mengambil alih kekuasaan dari tangan Belanda yang di kemudian hari tanggal ini dijadikan tanggal Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar. Tahun Hari Jadi diambil dari tahun masuknya Agama ISlam di Kabupaten Kepulauan Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang, yang ditandai dengan masuk Islamnya Raja Gantarang, Pangali Patta Radja, yang kemudian bernama Sultan Alauddin, pemberian Datuk Ribandang. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1605, sehingga ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Kepulauan Selayar adalah 29 November 1605.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
No comments:
Post a Comment