FENOMENA MAKAN SAYUR
Sayuran adalah menu utama manusia purba, sebab pucuk daun maupun tunas-tunas tanaman inilah yang paling mudah diambil dan selalu tersedia sepanjang waktu di hutan belantara. Buah dan umbi-umbian memang dimakan juga oleh manusia, namun ketersediaannya tergantung musim. Biji-bijian dan binatang (terutama larva serangga) dikonsumsi secara terbatas, sekadar untuk memenuhi kebutuhan protein. Dengan menu utama sayuran, manusia purba tidak pernah kebanyakan lemak dan dapat bertahan hidup di lingkungan yang keras.
Dalam kehidupan modern, menu utama manusia adalah biji-bijian dan daging atau ikan. Sayuran memang masih dikonsumsi, tapi jumlahnya sangat terbatas. Menu modern seperti hamburger, hotdog, dan pizza, tetap masih menggunakan sayuran, namun porsinya terlalu kecil dibanding daging dan roti. Jadilah kehidupan manusia modern yang penuh dengan lemak, kolesterol, asam urat, dengan akibat gangguan jantung, ginjal, lever, dan lain-lain. Penyakit modern ini demikian mengganggunya hingga munculah sebuah kesadaran baru di masyarakat modern, untuk kembali mengkonsumsi sayur dalam jumlah yang banyak.
Trend kembali makan sayuran ini juga dapat dideteksi dari pasar swalayan di kota-kota besar Indonesia yang makin ramai memajang sayuran “modern” yang aneh-aneh dari negeri subtropis. Namun yang menggembirakan, selain sayur “modern” tadi, pasar swalayan juga mau memajang sayuran tradisional seperti daun pepaya, daun singkong, atau pucuk labu siem. Minat masyarakat modern untuk kembali ke sayur tradisional ternyata juga tinggi.
Di negara-negara maju, selain muncul trend mengkonsumsi sayur, ternyata juga kekhawatiran terhadap pencemaran pestisida dan pupuk buatan. Kekhawatiran ini demikian besarnya hingga melahirkan gerakan pertanian organik yang menolak pestisida serta pupuk buatan. Gerakaan ini sudah merambah Indonesia. Namun kita tidak perlu terpukau dengan gerakan demikian. Di masyarakat sunda, sayuran bukan sesuatu yang baru atau aneh. Sampai saat ini, restoran-restoran khas sunda yang populer dengan sebutan “kuring” itu tetap menghadirkan lalap daun kemangi, tespong, pohpohan, daun jambu mete, dan lain-lain. Semua itu sayuran organik. Jadi orang sunda jauh lebih modern dibandingkan masyarakat eropa.
Trend yang juga berkembang di masyarakat kota besar adalah hobi bertanam sayuran. Mula-mula kegemaran ini hanya berupa tindakan iseng, misalnya dengan menancapkan bonggol seledri dikaleng bekas yang diisi media. Hobi semacam ini lama-kelamaan berkembang menjadi serius dengan menanam bayam, kangkung, cabai, tomat dan lain-lain. Bahkan kemudian berkembang lagi ke pot bertingkat dan dengan teknik hidroponik.
Sumber : TRUBUS – TH XXV- JULI 1994
No comments:
Post a Comment