1. KOTA
MAKASSAR
A. SEJARAH
KOTA MAKASSAR
Awal
Kota dan bandar makassar berada di muara sungai Tallo dengan pelabuhan niaga
kecil di wilayah itu pada penghujung abad XV. Sumber-sumber Portugis
memberitakan, bahwa bandar Tallo itu awalnya berada dibawah Kerajaan Siang di
sekitar Pangkajene, akan tetapi pada pertengahan abad XVI, Tallo bersatu dengan
sebuah kerajaan kecil lainnya yang bernama Gowa, dan mulai melepaskan diri dari
kerajaan Siang, yang bahkan menyerang dan menaklukan kerajaan-kerajaan
sekitarnya. Akibat semakin intensifnya kegiatan pertanian di hulu sungai Tallo,
mengakibatkan pendangkalan sungai Tallo, sehingga bandarnya dipindahkan ke
muara sungai Jeneberang, disinilah terjadi pembangunan kekuasaan kawasan istana
oleh para ningrat Gowa-Tallo yang kemudian membangun pertahanan benteng Somba
Opu, yang untuk selanjutnya seratus tahun kemudian menjadi wilayah inti Kota
Makassar.
Pada
masa pemerintahan Raja Gowa XVI ini didirikan pula Benteng Rotterdam di bagian
utara, Pemerintahan Kerajaan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Gowa, pada masa
itu terjadi peningkatan aktifitas pada sektor perdagangan lokal, regional dan
Internasional, sektor politik serta sektor pembangunan fisik oleh kerajaan.
Masa ini merupakan puncak kejayaan Kerajaan Gowa, namun selanjutnya dengan
adanya perjanjian Bungaya menghantarkan Kerajaan Gowa pada awal keruntuhan.
Komoditi ekspor utama Makassar adalah beras, yang dapat ditukar dengan
rempah-rempah di Maluku maupun barang-barang manufaktur asal Timur Tengah,
India dan Cina di Nusantara Barat. Dari laporan Saudagar Portugal maupun
catatan-catatan lontara setempat, diketahui bahwa peranan penting Saudagar
Melayu dalam perdagangannya yang berdasarkan pertukaran surplus pertanian
dengan barang-barang impor itu. Dengan menaklukkan kerajaan¬kerajaan kecil
disekitarnya, yang pada umumnya berbasis agraris pula, maka Makassar
meningkatkan produksi komoditi itu dengan berarti, bahkan, dalam menyerang
kerajaan-kerajaan kecil tainnya, para ningrat Makassar bukan hanya menguasai
kawasan pertanian lawan-tawannya itu, akan tetapi berusaha pula untuk membujuk
dan memaksa para saudagar setempat agar berpindah ke Makassar, sehingga
kegiatan perdagangan semakin terkonsentrasi di bandar niaga baru itu.
Dalam
hanya seabad saja, Makassar menjadi salah satu kota niaga terkemuka dunia yang
dihuni lebih 100.000 orang (dan dengan ini termasuk ke-20 kota terbesar dunia
Pada zaman itu jumlah penduduk Amsterdam, kota terbesar musuh utamanya,
Belanda, baru mencapai sekitar 60.000 orang) yang bersifat kosmopolitan dan
multikultural. Perkembangan bandar Makasar yang demikian pesat itu, berkat
hubungannya dengan perubahan¬-perubahan pada tatanan perdagangan internasional
masa itu. Pusat utama jaringan perdagangan di Malaka, ditaklukkan oleh Portugal
pada tahun 1511, demikian di Jawa Utara semakin berkurang mengikuti kekalahan
armada lautnya di tangan Portugal dan pengkotak-kotakan dengan kerajaan
Mataram. Bahkan ketika Malaka diambil-alih oleh Kompeni Dagang Belanda VOC pada
tahun 1641, sekian banyak pedagang Portugis ikut berpindah ke Makassar.
Sampai
pada pertengahan pertama abad ke-17, Makassar berupaya merentangkan
kekuasaannya ke sebagian besar Indonesia Timur dengan menaklukkan Pulau Selayar
dan sekitarnya, kerajaan-kerajaan Wolio di Buton, Bima di Sumbawa, Banggai dan
Gorontalo di Sulawesi bagian Timur dan Utara serta mengadakan perjanjian dengan
kerajaan-kerajaan di Seram dan pulau-pulau lain di Maluku. Secara
internasional, sebagai salah satu bagian penting dalam Dunia Islam, Sultan
Makassar menjalin hubungan perdagangan dan diplomatik yang erat dengan
kerajaan¬-kerajaan Banten dan Aceh di Indonesia Barat, Golconda di India dan
Kekaisaran Otoman di Timur Tengah.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.
Hubungan Makassar dengan Dunia Islam diawali dengan kehadiran Abdul Ma'mur Khatib Tunggal atau Dato' Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau Sumatera Barat yang tiba di Tallo (sekarang Makassar) pada bulan September 1605. Beliau mengislamkan Raja Gowa ke-XIV I¬MANGNGARANGI DAENG MANRABIA dengan gelar SULTAN ALAUDDIN (memerintah 1593-1639), dan dengan Mangkubumi I- MALLINGKAANG DAENG MANYONRI KARAENG KATANGKA yang juga sebagai Raja Tallo. Kedua raja ini, yang mulai memeluk Agama Islam di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 9 Nopember 1607, tepatnya hari Jum’at, diadakanlah sembahyang Jum’at pertama di Mesjid Tallo dan dinyatakan secara resmi penduduk Kerajaan Gowa-Tallo telah memeluk Agama Islam, pada waktu bersamaan pula, diadakan sembahyang Jum’at di Mesjid Mangallekana di Somba Opu. Tanggal inilah yang selanjutnya diperingati sebagai hari jadi kota Makassar sejak tahun 2000, yang sebelumnya hari jadi kota Makassar jatuh pada tanggal 1 April.
Para
ningrat Makassar dan rakyatnya dengan giat ikut dalam jaringan perdagangan
internasional, dan interaksi dengan komunitas kota yang kosmopolitan itu
me¬nyebabkan sebuah "creative renaissance" yang menjadikan Bandar
Makassar salah satu pusat ilmu pengetahuan terdepan pada zamannya. Koleksi buku
dan peta, sesuatu yang pada zaman itu masih langkah di Eropa, yang terkumpul di
Makassar, konon merupakan salah satu perpustakaan ilmiah terbesar di dunia, dan
para sultan tak segan-segan memesan barang-barang paling mutakhir dari seluruh
pelosok bumi, termasuk bola dunia dan teropong terbesar pada waktunya, yang
dipesan secara khusus dari Eropa. Ambisi para pemimpin Kerajaan Gowa-Tallo
untuk semakin memper-luas wilayah kekuasaan serta persaingan Bandar Makassar
dengan Kompeni Dagang Belanda VOC berakhir dengan perang paling dahsyat dan
sengit yang pernah dijalankan Kompeni. Pasukan Bugis, Belanda dan sekutunya
dari Ternate, Buton dan Maluku memerlukan tiga tahun operasi militer di seluruh
kawasan Indonesia Timur. Baru pada tahun 1669, akhirnya dapat merata-tanahkan
kota Makassar dan benteng terbesarnya, Somba Opu.
Bagi
Sulawesi Selatan, kejatuhan Makassar di tangan federasi itu merupakan sebuah
titik balik yang berarti Bandar Niaga Makassar menjadi wilayah kekuasaan VOC,
dan beberapa pasal perjanjian perdamaian membatasi dengan ketat kegiatan
pelayaran antar-pulau Gowa-Tallo dan sekutunya. Pelabuhan Makassar ditutup bagi
pedagang asing, sehingga komunitas saudagar hijrah ke pelabuhan-pelabuhan lain.
Pada
beberapa dekade pertama setelah pemusnahan kota dan bandar Makassar, penduduk
yang tersisa membangun sebuah pemukiman baru di sebelah utara bekas Benteng
Ujung Pandang; benteng pertahanan pinggir utara kota lama itu pada tahun 1673 ditata
ulang oleh VOC sebagai pusat pertahanan dan pemerintahan dan diberi nama
barunya Fort Rotterdam, dan 'kota baru' yang mulai tumbuh di sekelilingnya itu
dinamakan 'Vlaardingen'. Pemukiman itu jauh lebih kecil daripada Kota Raya
Makassar yang telah dihancurkan. Pada dekade pertama seusai perang, seluruh
kawasan itu dihuni tidak lebih 2.000 jiwa; pada pertengahan abad ke-18 jumlah
itu meningkat menjadi sekitar 5.000 orang, setengah di antaranya sebagai budak.
Selama
dikuasai VOC, Makassar menjadi sebuah kota yang tertupakan. “Jan Kompeni”
maupun para penjajah kolonial pada abad ke-19 itu tak mampu menaklukkan jazirah
Sulawesi Selatan yang sampai awal abad ke-20 masih terdiri dari selusinan
kerajaan kecil yang independen dari pemerintahan asing, bahkan sering harus
mempertahankan diri terhadap serangan militer yang ditancurkan
kerajaan-kerajaan itu. Maka, 'Kota Kompeni' itu hanya berfungsi sebagai pos
pengamanan di jalur utara perdagangan rempah-rempah tanpa hinterland -
bentuknya pun bukan 'bentuk kota', tetapi suatu aglomerasi kampung-kampung di
pesisir pantai sekeliling Fort Rotterdam.
Pada
awalnya, kegiatan perdagangan utama di beras Bandar Dunia ini adalah pemasaran
budak serta menyuplai beras kepada kapal¬kapal VOC yang menukarkannya dengan
rempah-rempah di Maluku. Pada tahun 30-an di abad ke-18, pelabuhan Makassar
dibuka bagi kapal-kapal dagang Cina. Komoditi yang dicari para saudagar
Tionghoa di Sulawesi, pada umumnya berupa hasil laut dan hutan seperti
teripang, sisik penyu, kulit kerang, sarang burung dan kayu cendana, sehingga
tidak dianggap sebagai langganan dan persaingan bagi monopoli jual-beli
rempah-rempah dan kain yang didirikan VOC.
Sebaliknya,
barang dagangan Cina, Terutama porselen dan kain sutera, dijual para
saudagarnya dengan harga yang lebih murah di Makassar daripada yang bisa
didapat oleh pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru itu,
mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan kawasan Makassar. Terutama
penduduk pulau-pulau di kawasan Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai
pencari teripang, komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan
menjelajahi seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan, sejak
pertengahan abad ke-18 para
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
nelayan-pelaut Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia, di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah
Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan kompeni perdagangan VOC yang
bangkrut pada akhir abad ke-18, Makassar dihidupkan kembali dengan
menjadikannya sebagai pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya
menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota Makassar
berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi kembali suatu bandar
internasional.
Dengan
semakin berputarnya roda perekonornian Makassar, jumlah penduduknya meningkat
dari sekitar 15.000 penduduk pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih
30.000 jiwa pada awal abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki
"kota kecil terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad,
seorang penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port of call
utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan Arab dalam pemburuan
hasil-hasil hutan yang amat laku di pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi
yang beroperasi di antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Pada
awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan daerah¬daerah independen di
Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai pusat pemerintahan kolonial Indonesia
Timur. Tiga-setengah dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan
kolonial itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami Sulawesi
Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang dengan pesat. Penduduk
Makassar dalam kurun waktu itu meningkat sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah
kota diperluas ke semua penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun
1906, Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa yang
membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing, sederetan panjang toko
di tengah kota yang menjual barang-barang mutakhir dari seluruh dunia dan
kehidupan sosial-budaya yang dinamis dan kosmopolitan.
Perang
Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi mengubah wajah
Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga asingnya pada tahun 1949 dan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada akhir tahun 1950-an
menjadi¬kannya kembali sebuah kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun
semakin menghilang dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman
yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai pergolakan
pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun 1961 jumlah penduduk
meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa menjadi hampir 400.000 orang, lebih
daripada setengahnya pendatang baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan
dalam penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan julukan
”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai Kota Makassar bagi orang
pedalaman pada tahun 1971. Baru pada tahun 1999 kota ini dinamakan kembali
Makassar, tepatnya 13 Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun
1999 Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan sesuai
Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah bertambah kurang lebih 4 mil
kearah laut 10.000 Ha, menjadi 27.577Ha
B. ARTI DAN MAKNA LAMBANG KOTA MAKASSAR
Arti makna
Lambang Kota Makassar :
- Perisai putih sebagai dasar melambangkan kesucian
- Perahu yang kelima layarnya sedang terkembang melambangkan bahwa Kota Makassar sejak dahulu kala adalah salah satu pusat pelayaran di Indonesia
- Buah padi dan kelapa melambangkan kemakmuran
- Benteng yang terbayang di belakang perisai melambangkan kejayaan Kota Makassar
- Warna Merah Putih dan Jingga sepanjang tepi perisai melambangkan kesatuan dan kebesaran Bangsa Indonesia
- Tulisan “Sekali Layar Terkembang, Pantang Biduk Surut Ke Pantai”, menunjukan semangat kepribadian yang pantang mundur.
Sumber : http://bahasa.makassarkota.go.id
2. KABUPATEN BONE
A. SEJARAH KABUPATEN BONE
Sejarah
mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di nusantara pada masa
lalu. Kerajaan Bone yang dalam catatan sejarah didirikan oleh ManurungngE
Rimatajang pada tahun 1330, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan
Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee
Gemmekna Petta Torisompae Matinroe ri Bontoala, pertengahan abad ke-17 (A.
Sultan Kasim,2002). Kebesaran kerajaan Bone tersebut dapat memberi pelajaran
dan hikmah yang memadai bagi masyarakat Bone saat ini dalam rangka menjawab
dinamika pembangunan dan perubahan-perubahan sosial, perubahan ekonomi,
pergeseran budaya serta dalam menghadapi kecenderungan yang bersifat global.
Belajar dan mengambil hikmah dari sejarah kerajaan Bone pada masa
lalu minimal terdapat tiga hal yang bersifat mendasar untuk diaktualisasikan
dan dihidupkan kembali karena memiliki persesuaian dengan kebutuhan masyarakat
Bone dalam upaya menata kehidupan kearah yang lebih baik.
Ketiga hal yang dimaksud adalah :
Pertama, pelajaran dan hikmah dalam bidang politik
dan tata pemerintahan. Dalam hubungannya dengan bidang ini, sistem kerajaan
Bone pada masa lalu sangat menjunjung tinggi kedaulatan rakyat atau dalam
terminology politik modern dikenal dengan istilah demokrasi. Ini dibuktikan
dengan penerapan representasi kepentingan rakyat melalui lembaga perwakilan
mereka di dalam dewan adat yang disebut "ade pitue", yaitu tujuh
orang pejabat adat yang bertindak sebagai penasehat raja. Segala sesuatu yang
terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh ade pitue dan hasil keputusan
musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan.
Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat
mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah. Prinsip ini berasal dari pesan
Kajaolaliddong seorang cerdik cendikia Bone yang hidup pada tahun 1507-1586
yang pernah disampaikan kepada Raja Bone seperti yang dikemukakan oleh Wiwiek P
. Yoesoep (1982 : 10) bahwa terdapat empat faktor yang membesarkan kerajaan
yaitu:
- Seuwani, Temmatinroi matanna Arung MangkauE mitai munrinna gauE (Mata Raja tak terpejam memikirkan akibat segala perbuatan).
- Maduanna, Maccapi Arung MangkauE duppai ada' (Raja harus pintar menjawab kata-kata).
- Matellunna, Maccapi Arung MangkauE mpinru ada' (Raja harus pintar membuat kata-kata atau jawaban).
- Maeppa'na, Tettakalupai surona mpawa ada tongeng (Duta tidak lupa menyampaikan kata-kata yang benar).
Pesan
Kajaolaliddong ini antara lain dapat diinterpretasikan ke dalam pemaknaan yang
mendalam bagi seorang raja betapa pentingnya perasaan, pikiran dan kehendak
rakyat dipahami dan disikapi.
Kedua, yang menjadi pelajaran dan hikmah dari
sejarah Bone terletak pada pandangan yang meletakkan kerjasama dengan daerah
lain, dan pendekatan diplomasi sebagai bagian penting dari usaha membangun
negeri agar menjadi lebih baik.
Urgensi terhadap pandangan seperti itu tampak jelas ketika kita
menelusuri puncak-puncak kejayaan Bone dimasa lalu.
Dan
sebagai bentuk monumental dari pandangan ini di kenal dalam sejarah akan
perjanjian dan ikrar bersama kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng yang melahirkan
TELLUM POCCOE atau dengan sebutan lain "LaMumpatue Ri Timurung" yang
dimaksudkan sebagai upaya memperkuat posisi kerajaan dalam menghadapi tantangan
dari luar.
Kemudian pelajaran dan hikmah yang ketiga dapat dipetik dari sejarah kerajaan Bone adalah warisan budaya
kaya dengan pesan. Pesan kemanusiaan yang mencerminkan kecerdasan manusia Bone
pada masa lalu.
Banyak refrensi yang bisa dipetik dari sari pati ajaran Islam
dalam menghadapi kehidupan, dalam menjawab tantangan pembangunan dan dalam
menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat. Namun yang terpenting adalah
bahwa semangat religiusitas orang Bone dapat menjawab perkembangan zaman dengan
segala bentuk perubahan dan dinamikanya. Demikian halnya (kabupaten Bone)
potensi yang besar yang dimiliki, yang dapat dimanfaatkan bagi pembangunan demi
kemakmuran rakyat. Potensi itu cukup beragam seperti dalam bidang pertanian,
perkebunan, kelautan, pariwisata dan potensi lainnya.
Demikian masyarakatnya dengan berbagai latar belakang pengalaman
dan pendidikan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mendorong pelaksanaan
pembangunan Bone itu sendiri. Walaupun Bone memiliki warisan sejarah dan budaya
yang cukup memadai, potensi sumber daya alam serta dukungan SDM, namun patut
digaris bawahi jika saat ini dan untuk perkembangan ke depan Bone akan
berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan pembangunan yang cukup berat.
Oleh karena itu diperlukan pemikiran, gagasan dan perencanaan yang tepat dalam
mengorganisir warisan sejarah, kekayaan budaya, dan potensi yang dimiliki ke
dalam suatu pengelolaan pemerintahan dan pembangunan.
B. ARTI DAN MAKNA LAMBANG KABUPATEN BONE
Lambang Daerah Kabupaten Bone berbentuk perisai bersudut lima
dengan warna hijau kebiru-biruan yang terdiri dari tujuh bagian yaitu : Sisir
(Salaga). Jangkar, Timbangan, Keris Terhunus, Padi, Kapas dan dibawahnya
bertuliskan Kabupaten Bone. Kesemuanya menggambarkan tata kehidupan yang khas
serta mengandung unsur-unsur historis, kulturil, patriotik, sosiologid ekonomis
dan agraris terutama yang melambangkan kepribadian.
- Sisir (Salaga) melambangkan bahwa salah satu dasar penghidupan rakyat daerah Bone bersumber pada pertanian untuk mencapai kehidupan yang layak. Cara menggunakan alat pertanian tersebut dengan sistem gotong royong memberikan kesan bahwa sarana penghidupan dan kehidupan rakyat Bone berdasarkan atas sistem gotong royong.
- Jangkar melambangkan sifat kebaharian yang perkasa dari rakyat Bone seperti yang telah dibuktikan oleh sejarah Perahu Elung Mangenre milik kerajaan Bone dengan Bendera Samparajae sebagai lambang kebesaran kerajaan didalamnya terlukis gambar Jangkar, sehingga dapat ditarik kesan bahwa sifat pelaut ini merupakan khas dari pada penduduk Bone.
- Timbangan pada tangkai lukisan jangkar sebelah menyebelah menandakan rakyat Bone dengan segala tindakan dan perbuatan serta pikiran dan pertimbangan yang waras. Timbangan inipun melambangkan keadilan dan kejujuran yang selalu merupakan pegangan dalam bertindak.
- Keris terhunus melambangkan keberanian. Hal ini memberikan kesan bahwa rakyat Bone laksana prajurit yang gagah perkasa dalam membela kebenaran dan keadilan. Keris terhunus melambangkan kesiapsiagaan rakyat dalam segala hal.
- Padi adalah pangan dan makanan pokok dari rakyat Bone. Ini berarti bahwa daerah Bone adalah daerah agraris.
- Kapas adalah melambangkan sandang yang juga merupakan cita-cita perjuangan rakyat dalam memenuhi kebutuhan primernya.
- Tulisan “Kabupten Bone” sebagai manifestasi perwujudan nama daerah Bone. Tulisan ini warna merah yang melambangkan keberanian dalam mempertahankan kebenaran serta dalam segala cita rasa dan karsanya tetap suci.
3.
KABUPATEN BARRU
A.
SEJARAH KABUPATEN BARRU
Kabupaten
Barru dahulu sebelum terbentuk adalah sebuah kerajaan kecil yang masing -
masing dipimpin oleh seorang Raja yaitu : Kerajaan Berru (Barru), Kerajaan
Tanete,Kerajaan Soppeng Riaja dan Kerajaan Mallusetasi.
Dimasa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda dimana wilayah Kerajaan Berru,Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah ONDER AFDELLING BARRU,yang bernaung dibawah AFDELLING PARE PARE sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan Pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.
Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Selfbestuur didalam Afdeling Pare-Pare masing-masing:
Dimasa pemerintahan Belanda dibentuk Pemerintahan Sipil Belanda dimana wilayah Kerajaan Berru,Tanete dan Soppeng Riaja dimasukkan dalam wilayah ONDER AFDELLING BARRU,yang bernaung dibawah AFDELLING PARE PARE sebagai kepala Pemerintahan Onder Afdelling diangkat seorang control Belanda yang berkedudukan di Barru, sedangkan ketiga bekas kerajaan tersebut diberi status sebagai Self Bestuur (Pemerintahan Kerajaan Sendiri) yang mempunyai hak otonom untuk menyelenggarakan Pemerintahan sehari-hari baik terhadap eksekutif maupun dibidang yudikatif.
Dari sejarahnya, sebelum menjadi daerah-daerah Swapraja pada permulaan Kemerdekaan Bangsa Indonesia, keempat wilayah Swapraja ini merupakan 4 bekas Selfbestuur didalam Afdeling Pare-Pare masing-masing:
- Bekas Selbesteuur Mallusetasi yang daerahnya sekarang menjadi kecamatan MalluseTasi dengan Ibu Kota Palanro. Adalah penggabungan bekas-bekas Kerajaan Lili dibawah kekuasan Kerajaan Ajattapareng oleh Belanda sebagai Selfbestuur, ialah Kerajaan Lili Bojo dan Lili Nepo.
- Bekas selfbestuur Soppeng Riaja yang merupakan penggabungan 4 Kerajaan Lili dibawah bekas Kerajaan Soppeng (Sekarang Kabupaten Soppeng) Sebagai Satu Selfbestuur, ialah bekas Kerajaan Lili Siddo, Lili Kiru-Kiru, Lili Ajakkang, dan lili Balusu.
- Bekas Selfbestuur Barru yang sekarang menjadi Kecamatan Barru dengan lbu Kotanya Sumpang Binangae yang sejak semula memang merupakan suatu bekas kerajaan kecil yang berdiri sendiri.
- Bekas Selbestuur Tanete dengan pusat Pemerintahannya di Pancana daerahnya sekarang menjadi 3 Kecamatan masing-masing Kecamatan Tanete Rilau, Kecamatan Tanete Riaja, Kecamatan Pujananting.
Seiring
dengan perjalanan waktu,maka pada tanggal 24 Pebruari 1960 merupakan tongkak
sejarah yang menandai awal kelahiran Kabupaten Daerah TK.II Barru dengan
Ibukota Barru berdasarkan Undang-Undang Nomor 229 tahun 1959 tentang
pembentukan Daerah-Daerah Tk. II di Sulawesi Selatan. Kabupaten Barru terbagi
dalam 7 Kecamatan dan 54 Desa/Kelurahan.
Sebelum
dibentuk sebagai suatu Daerah Otonom berdasarkan UU No. 29 Tahun 1959 pada
tahun 1961, Daerah ini terdiri dari 4 Wilayah Swapraja didalam kewedanaan Barru
Kabupaten Pare-Pare lama, masing-masing Swapraja Barru Swapraja Tanete,
Swapraja Soppeng Riaja dan bekas Swapraja Mallusetasi, Ibu Kota Kabupaten Barru
sekarang bertempat di bekas ibu Kota Kewedanaan Barru.
B. ARTI MAKNA LAMBANG KABUPATEN BARRU
- Kabupaten Barru terdapat diatas bumi dan tanah yang subur
- Penduduknya beragama islam hampir 100%, sehingga kepatuhan pada rakyat ada
- Rakyat Kabupaten Barru mempunyai banyak harapan untuk kemajuan daerahnya karena kesuburan buminya.
3. Pita berwarna biru mempunyai arti bahwa Kabupaten Barru adalah tenang dan setia.
4. Tulisan ” BARRU ” dengan letter putih diatas pita yang berwarna biru mengandung arti bahwa Pemerintah Kabupaten Barru dipilih dari rakyat yang suci.
5. Sebelah atas pita terdapat padi dan jagung, menggambarkan bahwa hasil utama Kabupaten Barru adalah padi dan jagung.
6. Diantara padi dan jagung dalam lingkaran putih terdapat gunung dan lautan, mengandung arti bahwa rakyat Kabupaten Barru selain mempunyai banyak harapan juga mempunyai cita-cita dan pandangan yang sesuai dengan alam sekitarnya yakni cita-cita setinggi gunung dan pandangan seluas lautan, serta memiliki kemauan karena kemakmurannya untuk membawa daerah dan negaranya kearah kemajuan.
Sumber
: http://www.depdagri.go.id
4. KABUPATEN BANTAENG
A. SEJARAH KABUPATEN BANTAENGKomunitas Onto memiliki sejarah tersendiri yang menjadi cikal
bakal Bantaeng. Menurut Karaeng Imran Masualle salah satu generasi penerus dari
kerajaan Bantaeng, dulunya daerah Bantaeng ini masih berupa lautan. Hanya
beberapa tempat tertentu saja yang berupa daratan yaitu daerah Onto dan
beberapa daerah di sekitarnya yaitu Sinoa, Bisampole, Gantarang keke, Mamapang,
Katapang dan Lawi-Lawi. Masing-masing daerah ini memiliki pemimpin
sendiri-sendiri yang disebut dengan Kare’. Suatu ketika para Kare yang semuanya
ada tujuh orang tersebut, bermufakat untuk mengangkat satu orang yang akan
memimpin mereka semua.
Sebelum itu mereka sepakat untuk melakukan pertapaan lebih dulu,
untuk meminta petunjuk kepada Dewata (Yang Maha Kuasa) siapa kira-kira yang
tepat menjadi pemimpin mereka. Lokasi pertapaan yang dipilih adalah daerah
Onto. Ketujuh Kare itu kemudian bersamadi di tempat itu. Tempat-tempat samadi
itu sekarang disimbolkan dengan Balla Tujua (tujuh rumah kecil yang beratap,
berdidinding dan bertiang bambu). Pada saat mereka bersemadi, turunlah cahaya
ke Kare Bisampole (Pimpinan daerah Bisampole) dan terdengar
suara :”Apangaseng antu Nuboya Nakadinging-dinginganna” (Apa yang engkau
cari dalam cuaca dingin seperti ini). Lalu Kare Bisampole menjelaskan maksud
kedatangannya untuk mencari orang yang tepat memimpin mereka semua, agar tidak
lagi terpisah-pisah seperti sekarang ini. Lalu kembali terdengar suara: “Ammuko
mangemako rimamampang ribuangayya Risalu Cinranayya (Besok datanglah kesatu
tempat permandian yang terbuat dari bamboo).
Keesokan harinya mereka mencari tempat yang dimaksud di daerah
Onto. Di tempat itu mereka menemukan seorang laki-laki sedang mandi. “Inilah
kemudian yang disebut dengan To Manurunga ri Onto,” jelas Karaeng Burhanuddin
salah seorang dari generasi kerajaan Bantaeng. Lalu ketujuh Kare menyampaikan
tujuannya untuk mencari pemimpin, sekaligus meminta Tomanurung untuk memimpin
mereka. Tomanurung menyatakan kesediaannya, tapi dengan syarat. “Eroja nuangka
anjari Karaeng, tapi nakkepa anging kau leko kayu, nakke je’ne massolong ikau
sampara mamanyu” (saya mau diangkat menjadi raja pemimpin kalian tapi saya
ibarat angin dan kalian adalah ibarat daun, saya air yang mengalir dan kalian
adalah kayu yang hanyut),” kata Tomanurung.
Ketujuh Kare yang diwakili oleh Kare Bisampole pun menyahut;
“Kutarimai Pakpalanu tapi kualleko pammajiki tangkualleko pakkodii, Kualleko
tambara tangkualleko racung.” (Saya terima permintaanmu tapi kau hanya kuangkat
jadi raja untuk mendatangkan kebaikan dan bukan untuk keburukan, juga engkau
kuangkat jadi raja untuk jadi obat dan bukannya racun). Maka jadilah Tomanurung
ri Onto ini sebagai raja bagi mereka semua. Pada saat ia memandang ke segala
penjuru maka daerah yang tadinya laut berubah menjadi daratan. Tomanurung ini
sendiri lalu mengawini gadis Onto yang dijuluki Dampang Onto (Gadis jelitanya
Onto)
Setelah itu mereka pun berangkat ke arah yang sekarang disebut
gamacayya. Di satu tempat mereka bernaung di bawah pohon lalu bertanyalah
Tomanurung pohon apa ini, dijawab oleh Kare Bisampole: Pohon Taeng sambil
memandang kearah enam kare yang lain. Serentak kenam kare yang lain menyatakan
Ba’ (tanda membenarkan dalam bahasa setempat). Dari sinilah kemudian muncul
kata Bantaeng dari dua kata tadi yaitu Ba’ dan Taeng jelas Karaeng Imran
Masualle.
Konon karena daerah Onto ini menjadi daerah sakral dan
perlindungan bagi keturunan raja Bnataeng bila mendapat masaalah yang besar,
maka bagi anak keturunan kerajaan tidak boleh sembarangan memasuki daerah ini,
kecuali diserang musuh atau dipakaikan dulu tanduk dari emas. Namun kini hal
itu hanya cerita. Karena menurut Karaeng Burhanuddin semua itu telah berubah akibat
kebijakan Pemda yang telah melakukan tata ruang terhadap daerah ini. Kini
Kesakralan daerah itu hanya tinggal kenangan.
Tanggal 7 (tujuh) menunjukkan simbol Balla Tujua di Onto dan Tau
Tujua yang memerintah dimasa lalu, yaitu: Kare Onto, Bissampole, Sinowa,
Gantarangkeke, Mamampang, Mamampang, Katapang dan Lawi-Lawi.
Selain itu, sejarah menunjukkan, bahwa pada tanggal 7 Juli 1667
terjadi perang Makassar, dimana tentara Belanda mendarat lebih dahulu di
Bantaeng sebelum menyerang Gowa karena letaknya yang strategis sebagai bandar
pelabuhan dan lumbung pasngan Kerajaan Gowa. Serangan Belanda tersebut gagal,
karena ternyata dengan semangat patriotiseme rakyat Bantaeng sebagai bagian
Kerajaan Gowa pada waktu itu mengadakan perlawanan besar-besaran.
Bulan 12 (dua belas), menunjukkan sistem Hadat 12 atau semacam
DPRD sekarang yang terdiri dari perwakilan rakyat melalui Unsur Jannang (Kepala
Kampung) sebagai anggotanya yang secara demokratis mennetapkan kebijaksanaan
pemerintahan bersama Karaeng Bantaeng.
Tahun 1254 dalam atlas sejarah Dr. Muhammad Yamin, telah
dinyatakan wilayah Bantaeng sudah ada, ketika kerajaan Singosari dibawah
pemerintahan Raja Kertanegara memperluas wilayahnya ke daerah timur Nusantara
untuk menjalin hubungan niaga pada tahun 1254-1292. Penentuan autentik Peta
Singosari ini jelas membuktikan Bantaeng sudah ada dan eksis ketika itu.
Bahkan menurut Prof. Nurudin Syahadat, Bantaeng sudah ada sejak
tahun 500 masehi, sehingga dijuluki Butta Toa atau Tanah Tuo (Tanah
bersejarah).
Selanjutnya laporan peneliti Amerika Serikat Wayne A. Bougas
menyatakan Bantayan adalah Kerajaan Makassar awal tahun 1200-1600, dibuktikan
dengan ditemukannya penelitian arkeolog dan para penggali keramik pada bagian
penting wilayah Bantaeng yakni berasal dari dinasti Sung (960-1279) dan dari
dinasti Yuan (1279-1368).
Dengan demikian, maka sesuai kesepakatan yang telah dicapai oleh
para pakar sejarah, sesepuh dan tokoh masyarakat Bantaeng pada tanggal 2-4 Juli
1999. berdasarkan Keputusan Mubes KKB nomor 12/Mubes KKB/VII/1999 tanggal 4
Juli 1999 tentang penetapan Hari Jadi Bantaeng maupun kesepatan anggota DPRD
Tingkat II Bantaeng, telah memutuskan bahwa sangat tepat Hari Jadi Bantaeng
ditetapkan pada tanggal 7 bulan 12 tahun 1254, sesuai dengan Peraturan Daerah
Nomor: 28 tahun 1999.
Sumber : http://www.depdagri.go.id
Kota Makasar ini indah sekali.
ReplyDelete