Nabi Ibrahim menyampaikan kepada anaknya,
إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Sungguh aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih kamu (Ismail), – Aku diperintahkan agar aku menyembelih kamu, wahai Ismail. – Bagaimana menurutkanmu Ismail? Bapak gelisah karena mimpi ini.” Ternyata jawaban dari anaknya di luar dugaan. Ia tidak mengatakan, “Jangan!”, “Tidak mau. Saya tidak mau disembelih.”, atau “Ayah jahat,” misalnya. Ternyata jawaban dari Ismail,
يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِين
“Wahai Bapakku, lakukan saja. Aku insya Allah termasuk orang-orang yang siap dengan sabar menghadapi perintah Allah ini.” “Jadi pendapatmu seperti itu?” “Iya, itu adalah perintah dari Allah. Lakukan saja, jangan ragu-ragu. Saya Insya Allah termasuk orang-orang yang sabar dalam menghadapi ujian seperti ini.” Sang orang tua, Nabi Ibrahim, mendapat dukungan terhadap mimpinya itu. Saat itu Nabi Ibrahim hanya bisa berkata, “Ya sudah, bismillah kalau begitu. Saya siapkan pisau yang tajam.” Pisau itu diasahnya bolak-balik sampai tajam betul. Jangan sampai nanti nyangkut dan sebagainya, karena anak sudah siap.